SURABAYA, Lingkaran.net – Motor bebek Vera berhenti pelan di rumah nomor tujuh Jalan Kupang Gunung 2, Kelurahan Putat Jaya, Surabaya. Di ujung teras, suami tercinta, Jarwo Susanto menyambut dengan senyum.
Setiap pagi buta, istri Jarwo pergi ke pasar untuk membeli kedelai. Dia harus berangkat lebih awal agar pesanan kedelai di Pasar Pabean tidak dibeli orang.
Pergi ke pasar membeli bahan baku tempe menjadi tugas Vera setiap pagi. Sementara Jarwo keliling kampung dan pasar, menjajakan tempe yang sudah jadi.
“Kita memang harus berbagi tugas agar proses produksi tempe tidak terganggu. Pagi-pagi saya jualan tempe. Sementara istri ke pasar membeli kedelai untuk persiapan produksi esok hari,” kata Jarwo.
Rutinitas ini dijalani Jarwo bersama istri sejak penutupan lokalisasi Dolly 2014 silam. Sejak saat itu pendapatan tidak ada lagi, sehingga dia harus memutar otak untuk menjaga asap dapur tetap ngebul.
Jarwo memang sempat berjaya saat lokalisasi Dolly buka. Saat itu dia membuka warung kopi di salah satu wisama di Gang Dolly. Hasilnya lumayan besar, mencapai Rp1 juta sampai Rp1,5 juta setiap malam.
Namun, malang tidak bisa dibendung. Tahun 2014, Pemerintah Kota Surabaya memutuskan untuk menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara tersebut. Usaha warung pun ikut bangkrut.
Kenyataan inilah yang membuat Jarwo berontak. Bersama dengan pemilik wisma, PSK dan warga lainnya dia melayangkan protes, menolak penutupan lokalisasi.
Jarwo terbilang berani dan gigih. Dia menggalang kekuatan bersama dengan para pemilik usaha di sekitar wisma untuk membatalkan rencana itu. Imbasnya, dia diburu oleh aparat kepolisian karena dianggap sebagai provokator. Jarwo pun menjadi buronan.
Lebih dari sebulan Jarwo sembunyi. Dia pergi berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran polisi. Sampai akhirnya memutuskan menetap di rumah saudaranya di Sidoarjo.