Di sisi lain, cucu pendiri NU KH Bisri Syansuri, Abdussalam Shohib atau Gus Salam, juga angkat suara mengenai pertemuan yang terjadi di Tebuireng.
Gus Salam menyayangkan fokus pertemuan tersebut yang lebih condong pada upaya merebut kembali PKB dari tangan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB saat ini.
“Kiai-kiai struktural NU tidak seharusnya berkumpul hanya untuk membahas hal ini. PKB dan PBNU adalah dua entitas yang berbeda, dan seharusnya diperlakukan sebagai demikian,” ujar Gus Salam dengan nada tegas.
Ia menambahkan bahwa tindakan represif terhadap PKB, yang dianggap sebagai campur tangan yang tidak perlu, hanya akan merusak citra NU sebagai organisasi keagamaan yang independen.
“Jika ada niat baik, seharusnya dilakukan dengan pendekatan persuasif, bukan melalui intervensi yang menciptakan kesan bahwa PBNU sedang berpolitik praktis,” tambahnya.
Gus Salam juga mengkritik kepemimpinan PBNU saat ini, yang menurutnya telah membawa organisasi yang didirikan kakeknya itu ke arah yang tidak seharusnya.
Ia membandingkan situasi saat ini dengan masa kepemimpinan KH Ma’ruf Amin dan KH Said Aqil Siroj, yang dinilainya lebih bijaksana dan berakhlak tinggi dalam menjalankan peran mereka.
“Pernyataan Kiai Ma’ruf Amin dan Kiai Said Aqil Siroj jauh lebih menunjukkan kebijaksanaan, kearifan serta tingginya ilmu dan akhlak mereka. Ini yang harus kita rindukan dari para pemimpin kita,” pungkas Gus Salam.
Dengan ketegangan yang terus meningkat, pertanyaan besar pun muncul: Apakah PBNU dan PKB akan mampu melewati krisis ini dan kembali bersatu?
Ataukah perpecahan ini justru akan melahirkan konfigurasi politik baru di kalangan Nahdliyin yang selama ini dikenal solid? Jawabannya mungkin akan menentukan arah masa depan politik Indonesia. Alkalifi Abiyu