Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti
Bulan ini, 75 tahun yang lalu, tepatnya 3 April 1950. Seorang Pahlawan Nasional Indonesia, Mohammad Natsir dari atas podium Parlemen Indonesia, menyampaikan pikirannya tentang perjalanan Indonesia yang harus dikoreksi.
Saat itu, Natsir mengatakan: Indonesia telah salah arah. Karena mengikuti kemauan Ratu Belanda untuk menjadi Negara Serikat.
Seperti diketahui, Indonesia yang “kalah” dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana salah satu yang harus dilakukan Indonesia agar diakui merdeka oleh Belanda adalah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Juga harus mengganti biaya Agresi Militer Belanda di Indonesia dalam rentang tahun 1945-1949. Sebesar 4,5 Milyar Gulden.
Kita tentu tidak perlu menyalahkan para perunding saat itu. Di antaranya Mohammad Hatta, Mohammad Roem, Soepomo dan sejumlah pendiri bangsa lainnya. Karena memang posisi Indonesia dalam kontek geopolitik global sebagai negara yang baru merdeka masih sangat lemah. Sehingga pengakuan kedaulatan dari Belanda, sebagai negara yang pernah menguasai dan menjajah tanah Hindia Belanda sangatlah penting.
Dan saya sebagai umat Islam, memiliki referensi nubuwah. Yaitu perjanjian Hudaibiyah pada tahun 628 M atau 6 Hijriyah. Yaitu perjanjian damai antara Nabi Muhammad SAW dengan Kelompok Kafir Qurays. Demi umat Islam Madinah agar bisa memasuki kota Mekkah untuk melaksanakan Ibadah Haji. Meski beberapa butir isi perjanjian tersebut dinilai lebih menguntungkan Kafir Qurays.
Kembali kepada Natsir. Hentakan pikiran akal sehat Natsir: Bahwa Indonesia telah salah arah dengan menjadi negara serikat memicu kesadaran kolektif. Karena bangsa ini pernah berkomitmen untuk memperjuangkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah itu kita lakukan pada 28 Oktober 1928.
Lantas mengapa kemudian kita menjadi belasan negara-negara kecil. Ada negara Indonesia Timur, ada negara Dayak, ada negara Madura, ada negara Sumatera dan lain-lain. Bukankah ini melanggar sumpah para pemuda bangsa yang saat itu mulai menyadari pentingnya nation state?
Tidak lama setelah pidato Natsir: yang kemudian kita kenal dengan Mosi Integral Natsir itu. Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950 menyatakan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akal sehat memang harus disampaikan. Karena perjalanan Indonesia tidak pernah lepas dari kepentingan global. Terutama dari negara-negara yang berwatak imperialis kapitalis. Itu pula yang saya sampaikan: mengapa kita perlu kembali kepada rumusan bernegara yang disusun para pendiri bangsa. Karena pada tahun 1999 hingga 2002, melalui Amandemen Konstitusi kita telah menjadi bangsa lain dan meninggalkan Pancasila.