Opini, Lingkaran.net Setiap tahun, fenomena arus balik pasca-Lebaran menyisahkan catatan penting bagi para pengambil kebijakan. Ribuan, bahkan jutaan orang yang sebelumnya pulang ke kampung halaman, kembali ke kota dengan berbagai tujuan.
Tak sedikit pula yang ikut serta dalam arus itu bukan sekadar untuk kembali bekerja, tetapi untuk menetap dan mencoba peruntungan di kota besar. Inilah awal dari persoalan klasik yang terus berulang: urbanisasi
Setiap musim Lebaran, jutaan orang tumpah ruah dalam ritual tahunan yang disebut mudik. Ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga fenomena sosial yang mencerminkan hubungan emosional dan kultural antara masyarakat urban dengan kampung halamannya.
Namun, di balik kemeriahan mudik, ada arus sebaliknya yang patut kita renungkan lebih dalam: arus balik. Arus ini tak hanya soal kembalinya para pekerja ke kota-kota besar setelah liburan, melainkan juga tentang urbanisasi yang terus berlangsung, membawa berbagai dampak sosial, ekonomi, dan tata kota.
Urbanisasi di Indonesia adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Menurut data BPS, proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2020, sekitar 56,7% penduduk tinggal di kota.
Seperti di Kota Surabaya, data triwulan pertama pada 2024 misalnya, terdapat kenaikan jumlah penduduk Surabaya sebesar 21.423 jiwa dibandingkan data penduduk pada akhir tahun 2023.
Jumlah tersebut membuat jumlah penduduk Surabaya menyentuh 3.009.286 jiwa hingga pertengahan Maret 2024.
Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya pada Januari-Juni 2024, sebanyak dua kecamatan yang memiliki jumlah penduduk pindah masuk paling besar dari 31 kecamatan di Surabaya.Yakni, Kecamatan Kenjeran (2.230 jiwa), dan Kecamatan Tambaksari (1.684 jiwa).
Angka ini diprediksi akan terus naik seiring dengan dinamika ekonomi dan pembangunan. Salah satu penyumbang urbanisasi terbesar adalah arus balik pasca Lebaran, di mana tidak sedikit penduduk desa memutuskan untuk menetap di kota demi mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.
Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwa urbanisasi di Indonesia kerap berlangsung secara tidak terkendali. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan menjadi magnet kuat yang menarik penduduk desa tanpa dibarengi oleh perencanaan urban yang matang.
Akibatnya, muncul berbagai persoalan pelik seperti ledakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, kepadatan pemukiman, maraknya kawasan kumuh, meningkatnya pengangguran terselubung, hingga tekanan terhadap fasilitas dan layanan publik.