Lingkaran.net - Di tengah derasnya arus modernitas yang kerap menggilas identitas budaya dan mempersempit ruang gerak perempuan, nama Syska Liana, atau yang lebih dikenal sebagai Syska La Veggie, muncul sebagai oase yang menyegarkan.
Seniman visual asal Sidoarjo ini tidak hanya menggugah melalui karya-karya multimediumnya yang sarat isu gender dan sosial, tetapi juga mencuri perhatian karena pilihan gaya hidupnya yang unik dan penuh makna: mendaki gunung dengan mengenakan kebaya.
Baca juga: Penting Gak Sih Peringatan Hari Kebaya Nasional?
Bagi banyak orang, pendakian identik dengan celana gunung, jaket waterproof, atau sepatu hiking.
Tapi bagi Syska, gunung adalah ruang sakral bukan sekadar tempat untuk menaklukkan alam melainkan ruang spiritual, tempat bersemayamnya jejak leluhur dan kekuatan semesta, sebagaimana dimaknai masyarakat Jawa Kuna.
Maka, kebaya menjadi pilihan busana yang sarat filosofi, bukan sekadar estetika.
“Aku memilih memakai kebaya saat mendaki sebagai bentuk penghormatan terhadap dua hal yang sangat berarti bagiku, alam dan budaya,” ujar Syska kepada Lingkaran.net, Kamis (24/7/2025).
Seni sebagai Ruang Kritik dan Refleksi
Latar belakang Syska sebagai seniman visual multi-medium telah membentuk dirinya sebagai pengamat sosial yang tajam.
Karya-karyanya banyak mengangkat isu-isu kesetaraan gender, identitas perempuan, dan resistensi terhadap budaya patriarki.
Ia mengolah berbagai medium dari lukisan, instalasi, hingga performans sebagai alat kritik sekaligus ekspresi diri.
Namun, perjalanan artistiknya tak berhenti di ruang galeri. Syska juga dikenal aktif dalam pengelolaan proyek seni, penggagas berbagai kegiatan berbasis komunitas, dan tergabung dalam organisasi strategis seperti Koalisi Seni Indonesia dan Jaringan Seni Puan.
Keterlibatannya menunjukkan komitmen untuk menjadikan seni sebagai bagian dari perubahan sosial.
“Seni bagiku adalah ruang untuk bicara, menyentuh yang tak terkatakan, dan membongkar yang terbungkam,” ucapnya.
Kebaya di Gunung: Perlawanan yang Anggun
Saat mendaki, Syska kerap mengenakan kebaya brokat ringan tanpa furing, dipadukan dengan celana gunung atau legging agar tetap nyaman dan fleksibel.
Ia mengakui bahwa pendakiannya bukanlah perjalanan biasa, melainkan sebuah ziarah simbolik ke tempat-tempat yang memuat peninggalan kuno seperti candi, petirtaan, hingga pertapaan.
“Saat kaki menapaki tanah yang pernah dilalui para leluhur, aku ingin hadir bukan sebagai turis, tapi sebagai peziarah. Kebaya menjadi caraku menghormati ruang suci itu,” tuturnya.
Namun kebaya bukan sekadar simbol adat. Bagi Syska, kebaya juga menyimpan sejarah panjang perlawanan perempuan Indonesia.
Ia mengingat bagaimana pada masa kolonial dan perjuangan kemerdekaan, banyak pahlawan perempuan mengenakan kebaya saat memimpin organisasi dan menyuarakan hak-hak perempuan.
Sebaliknya, pada masa Orde Baru, kebaya sempat direduksi menjadi simbol domestikasi perempuan lemah lembut, penurut, dan selalu berada di balik laki-laki.
“Aku ingin mengembalikan makna kebaya sebagai simbol keberanian dan kedaulatan tubuh perempuan. Dalam kebaya mereka bergerak, bukan membisu,” tegasnya.
Bagi Syska, kebaya di gunung adalah pernyataan. Bukan nostalgia masa lalu, melainkan manifestasi masa kini. Di tengah alam yang tidak menghakimi, ia merasa bebas menjadi dirinya sendiri tanpa dikurung standar kesopanan yang dikonstruksi secara patriarkal.
“Terlalu lama tubuh perempuan dikontrol oleh standar moral eksternal. Kebaya, justru, menyimpan kekuatan simbolik yang lentur. Ia bisa jadi alat perlawanan, pernyataan sikap, dan jembatan menuju akar budaya yang kerap dilupakan,” katanya.
Mendaki sebagai Ruang Belajar dan Menghidupkan Komunitas
Tak hanya mendaki sendiri, Syska juga menjadi pendiri komunitas Sekolah Alam Penanggungan dan WomenFunNature, dua wadah yang bertujuan untuk mengajak lebih banyak perempuan mengeksplorasi alam secara aman, sadar, dan bermakna.
“Sekolah Alam Penanggungan adalah ruang belajar bersama. Kami tak hanya bicara tentang flora-fauna, tapi juga tentang sejarah, mitologi, bahkan ekologi spiritual gunung,” jelasnya.
Sementara WomenFunNature menjadi ruang khusus perempuan untuk mendaki dan berbagi pengalaman, tanpa tekanan performatif, tanpa kompetisi, hanya keintiman antara tubuh, alam, dan kesadaran diri.
Simbolisme, Spiritualitas, dan Politik Tubuh
Dalam dunia seni dan pendakian, apa yang dilakukan Syska tidak bisa dilepaskan dari politik tubuh, bagaimana tubuh perempuan kerap menjadi objek kontrol sosial.
Dengan kebaya dan jejak kaki di lereng gunung, Syska menyuarakan bahwa tubuh perempuan bukan hanya estetika, tapi juga narasi yang berdaulat.
“Mengenakan kebaya di gunung adalah caraku menyatukan tubuh, tradisi, spiritualitas, dan keberanian dalam satu langkah pulang menuju diri sendiri," pungkasnya.
Editor : Setiadi