Pemkot Surabaya Berencana Terbitkan Aturan Pembatasan Tenda Hajatan, Komisi A: Tidak Perlu Buru-buru

Reporter : Trisna Eka Aditya
larangan tenda hajatan

Lingkaran.net – Ketua Komisi A DPRD Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, mengingatkan Pemkot agar tidak tergesa-gesa membuat aturan pembatasan tenda hajatan yang menutup jalan kampung. Dia menilai rencana Wali Kota Eri Cahyadi harus mempertimbangkan kearifan lokal dan kebiasaan warga yang selama ini saling memaklumi.

“Tidak perlu buru-buru menyikapi keluhan sebagian warga. Kalau betul-betul akan dilarang, Pemkot Surabaya harus memberikan solusi,” ujar Yona, Minggu (26/10/2025).

Baca juga: Izin Tutup Jalan untuk Hajatan di Surabaya Kini Harus Ada Persetujuan RT/RW dan Lurah

Politisi Gerindra yang akrab disapa Cak Yebe ini menyebut, sejak dulu masyarakat Surabaya memiliki budaya tepo seliro dan tenggang rasa dalam menggelar hajatan. Menurut dia, fenomena penutupan jalan lingkungan untuk acara nikahan, khitan, syukuran keluarga, hingga kedukaan sudah berjalan dengan mekanisme sosial yang kuat di tingkat RT/RW.

“Mulai nikahan, khitan, kumpul keluarga besar atau kedukaan, selama ini warga mendirikan tenda itu lazimnya sudah izin RT/RW dan tetangga kanan kiri. Warga memaklumi,” ucap dia. 

Cak Yebe menilai, tidak semua hajatan harus melalui izin berlapis sampai tingkat kepolisian. Dia menyebut perlu ada klasifikasi jenis tenda yang berpotensi mengganggu keamanan dan kenyamanan pengguna jalan.

“Klasifikasikan dulu hajatan yang dianggap berpotensi mengganggu kenyamanan pengguna jalan dan masyarakat, jangan digeneralisir,” jelas Cak Yebe. 

Menurut dia, tenda yang dipasang satu hingga tiga unit dengan ukuran kecil sebenarnya tidak berdampak signifikan. Namun, jika panjang tenda sudah melebihi 18 meter, barulah diperlukan mekanisme izin lebih lanjut.

Baca juga: Ada Anggaran Rp 47 Miliar untuk Gen Z, DPRD Ingin Bangun Kemandirian Anak Muda

“Kalau tiga tenda ukuran sampai 12 meter dimaknai panjang per tenda 4 meter, itu tidak ngaruh sama sekali. Yang berpotensi masalah itu yang lebih dari 18 meter panjangnya,” tegas Cak Yebe. 

Cak Yebe menambahkan, lazimnya tenda hajatan hanya terpasang singkat dan dibongkar cepat. Untuk tenda duka pun, meski sedikit lebih lama, masyarakat tetap memaklumi sepanjang masih dalam batas kewajaran dan ada akses jalan alternatif.

“Biasanya pemasangan tenda paling lama mulai H-2 dan dibongkar H+1. Kalau tenda duka biasanya lebih lama bisa H+7 tapi warga memahami,” kata dia. 

Dia menilai, aturan yang tepat adalah tetap mengedepankan izin berjenjang sesuai skala acara. Untuk hajatan kampung berskala kecil cukup melalui persetujuan RT/RW dan Ketua RW yang konfirmasi ke Lurah, sementara acara besar yang mengundang massa lebih luas bisa dilengkapi izin kepolisian untuk ijin keramaian.

Baca juga: Komisi A DPRD Surabaya Minta Tinjau Ulang Perubahan Bantuan Pendidikan Tahun Depan

“Tenda hajatan yang hanya menutup jalan sehari, sebaiknya semua memaklumi. Budaya saling menghargai antartetangga di Surabaya itu tinggi,” tutur Cak Yebe. 

Cak Yebe mengingatkan, kebijakan publik harus menyentuh rasa keadilan sosial masyarakat. Tidak semua warga punya kemampuan ekonomi  menggelar hajatan di gedung atau di Ballroom hotel di Surabaya ,Dia berharap aturan nanti tidak menyalahi jati diri kampung-kampung Surabaya yang hidup rukun dan guyub.

“Saya melewati jalan kampung yang ditutup karena hajatan, saya memaklumi. Fenomena ini sudah jamak. Sebaiknya tidak perlu disikapi berlebihan,sing penting saling bisa memahami dan tepo sliro, pun demikian dengan sang sohibul hajat,tidak bersikap semaunya sendiri harus dipikirkan hak pengguna jalan."pungkas Cak Yebe.

Editor : Trisna Eka Aditya

Politik & Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru