Lingkaran.net - Setiap tanggal 10 November, negeri ini kembali menundukkan kepala. Di Surabaya, gema tembakan masa lalu seolah masih bergema di antara tugu-tugu, menembus kabut pagi dan menyusup ke dada mereka yang mengingat. Hari Pahlawan -saat bangsa ini mengenang darah dan nyawa yang pernah dikorbankan demi merah putih.
Namun tahun ini, di tengah semangat heroik itu, ada riak yang mengusik ketenangan upacara. Pemerintah menetapkan sepuluh tokoh sebagai Pahlawan Nasional, dan di antara nama-nama itu, satu sosok membuat udara terasa tebal oleh perdebatan lama yang belum tuntas: Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia.
Baca juga: Gubernur Khofifah Pimpin Apel Kehormatan dan Renungan Suci Hari Pahlawan 2025
Nama itu, seperti bayangan panjang yang tak pernah benar-benar pudar, kembali membelah ingatan bangsa: antara jasa dan luka.
Sebagian menyambut keputusan itu dengan tepuk tangan yang lama tertahan. Bagi mereka, Soeharto adalah arsitek stabilitas -pemimpin yang membangkitkan ekonomi, membawa negeri ini keluar dari inflasi dan kekacauan pasca-1965. Dalam kaca mata mereka, Soeharto pantas disebut pahlawan karena jasanya membangun dan menjaga keutuhan negara.
Namun, di seberang sana, suara lain bergema. Mereka yang pernah merasakan gelapnya kurungan Orde Baru, yang kehilangan suara, kehilangan keluarga, atau kehilangan ruang untuk berpikir. Mereka mengingat kekuasaan yang begitu panjang hingga bayangan kekuasaan itu menutupi langit kebebasan.
Di antara dua kutub itu, sejarah kembali menjadi medan tafsir. Dr. Agus Suwignyo, sejarawan Universitas Gadjah Mada, mengingatkan bahwa pahlawan bukan sekadar soal prestasi administratif. “Gelar itu,” katanya, “adalah juga soal nilai moral, tentang warisan kemanusiaan yang ia tinggalkan.”
Sejarah, lanjutnya, tak bisa dibaca hanya dari catatan formal negara. Ia adalah cermin yang memantulkan seluruh wajah masa lalu, termasuk luka-lukanya.
Makna Hari Pahlawan di Tengah Polemik
Hari Pahlawan seharusnya menjadi waktu untuk menyalakan kembali api keberanian dan kejujuran. Untuk bertanya kepada diri sendiri: nilai apa yang sesungguhnya kita rayakan? Apakah kepahlawanan diukur dari kekuasaan dan warisan besar yang ditinggalkan? Ataukah dari keberanian melawan arus demi kebenaran, walau tanpa nama di prasasti?
Baca juga: Peringatan 10 November, Cak Yebe: perjuangan hari ini adalah kerja nyata
Di jalan-jalan yang basah oleh hujan, di sekolah pelosok yang atapnya bocor, di rumah sakit yang lampunya redup, ada pahlawan-pahlawan tanpa seremoni. Guru yang tetap mengajar meski tanpa gaji, perawat yang berjaga sepanjang malam, relawan yang menolong tanpa kamera. Mereka semua memberi arti pada kata “berjuang” dengan cara yang sunyi. Mereka tidak memerlukan gelar; cukup hati rakyat yang mengingatnya.
Kejujuran Sejarah
Menetapkan seseorang sebagai pahlawan seharusnya bukan keputusan politik, melainkan keputusan moral. Sebab bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan masa lalunya, melainkan bangsa yang berani menatapnya dengan jujur.
Mengakui jasa Soeharto bukan berarti memutihkan dosa sejarah. Sebaliknya, menolak gelarnya bukan berarti menafikan pembangunan yang pernah ia lakukan. Keduanya adalah bagian dari mozaik sejarah -jasa dan dosa, terang dan bayang, yang bersama-sama membentuk wajah bangsa ini.
Keberanian terbesar bukanlah memberi gelar, tapi menjaga agar sejarah tetap utuh, agar kebenaran tak terhapus oleh kepentingan.
Menjaga Bara Kepahlawanan
Hari Pahlawan tahun ini seharusnya menjadi cermin, bukan panggung politik. Sebab pahlawan sejati tak menuntut medali, tak mencari pengakuan administratif. Mereka hidup di hati rakyat, di tangan-tangan yang bekerja, di suara yang jujur, di langkah yang tetap tegak meski sunyi.
Dan mungkin, di antara riuh tepuk tangan dan perdebatan, di sanalah makna Hari Pahlawan sesungguhnya bersembunyi: pada keberanian untuk tidak menutup mata, dan ketulusan untuk mengingat dengan jujur.
Di antara cahaya dan bayang, di sanalah pahlawan sejati dikenang, bukan karena gelarnya, tapi karena keberanian mereka menantang waktu dan kekuasaan.
Editor : Zaki Zubaidi