Surabaya, Lingkaran.net Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar peringatan Hari Kebebasan Pers 2025 di Taman Apsari, Surabaya, Jumat (2/5/2025). Para insan pers itu menyuarakan tuntutannya.
Sekitar puluhan massa aksi, termasuk Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) dari sejumlah kampus di Kota Pahlawan, tampak kompak membawa poster, bendera, dan atribut menuntut penegakan kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Ketua AJI Nany Afrida menjelaskan, selama empat bulan awal tahun ini atau hingga 30 April 2025, tercatat ada 41 kasus kekerasan yang diterima organisasi profesi jurnalis tersebut.
Salah satunya kasus kekerasan jurnalis yang menjadi sorotan di Surabaya saat aksi demonstrasi RUU TNI di depan Gedung Grahadi pada Maret 2025 lalu, ujar Nany saat ditemui seusai aksi.
Dia menyebut, tindakan represif aparat tersebut menjadi salah satu alasan Peringatan Hari Kebebasan Pers tahun ini dipusatkan di Surabaya.
Tercatat beberapa jurnalis mengalami kekerasan dan tindakan intimidatif pada acara demonstrasi tersebut.
Kalau di Jakarta sudah banyak peringatan dari berbagai elemen. Sedangkan, di Surabaya ini penting karena juga banyak kasus kekerasan jurnalis, tambahnya.
Mereka menuntut, pemerintah dan aparat penegak hukum serius menangani kasus tersebut. Apalagi, sejumlah kasus masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi yang berat.
Dalam penyelesaian kasus, kata Nany, penegak hukum harusnya juga mengusut dalang tindak represif kepada para pekerja media. Aktor intelektualnya juga harus diadili.
Jangan hanya diselesaikan, tetapi harus diselidiki siapa aktor intelektual di balik tindakan kekerasan itu. Jangan hanya pelaku yang memukul dan melempar, tegas dia.
Meski demikian, AJI berkomitmen selalu hadir memberikan pendampingan advokasi kepada para jurnalis yang menjadi korban kekerasan.
Mereka tetap menginginkan ketegasan pemerintah dalam menyikapi kasus yang terus berulang tersebut.
Dalam tahap pengusutan internal, penegak hukum juga harus transparan menyampaikan sudah sampai sejauh mana saja hasilnya, bebernya menyikapi sejumlah kasus yang minim penanganan. (Rifqi Mubarok)
Editor : Redaksi