Surabaya, Lingkaran.net Ledakan pembangunan villa mewah dan perumahan elit di kawasan Malang Raya mulai menimbulkan kekhawatiran.
Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan, Dewanti Rumpoko, angkat suara dan mengingatkan agar jangan sampai ambisi investasi properti justru mengorbankan keseimbangan lingkungan, terutama di wilayah lereng pegunungan.
Baca juga: Kapal Cepat Banyuwangi Denpasar Jadi Kado HUT ke-80 RI, Ini Jadwal Pelayaran Perdananya
Dalam rapat di Gedung DPRD Jatim, Selasa (14/5/2025), Dewanti menegaskan bahwa semua pembangunan harus tunduk pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Ia mengingatkan bahwa wilayah seperti Kota Batu memiliki banyak kawasan lereng yang rawan bencana jika tidak dikelola dengan bijak.
Saya mohon ketika ada pengembang menawarkan villa atau perumahan, masyarakat harus tahu zonanya. Apakah itu zona hijau, kuning, atau lainnya. Ini penting untuk keselamatan dan keberlanjutan lingkungan, ujar mantan Wali Kota Batu periode 20192024 itu.
Ia menegaskan bahwa data peruntukan lahan sebetulnya sudah tersedia dan seharusnya menjadi acuan utama sebelum pembangunan dilakukan.
"RTRW itu bukan formalitas, itu peta masa depan tata kota. Kalau ada yang mau ubah zonasi, prosesnya harus profesional dan sesuai prosedur," tegasnya.
Dewanti juga menyoroti potensi ancaman ekologis dari pembangunan yang tidak mempertimbangkan topografi.
Baca juga: Kontroversi Sound Horeg Makin Panas, DPRD Jatim Angkat Bicara
Di wilayah Batu, lerengnya banyak. Kalau asal bangun, bisa berujung longsor atau banjir. Maka harus benar-benar dikaji apakah lahan itu memang layak jadi hunian atau tidak, imbuhnya.
Ia pun mendorong adanya edukasi bagi masyarakat, agar tidak mudah tergiur membeli properti yang ternyata berada di zona terlarang. Jangan sampai nanti beli villa, ternyata melanggar RTRW. Itu rugi dua kali, katanya.
Sementara itu, data dari Dinas Ketenagakerjaan, Penanaman Modal dan PTSP Kota Malang menunjukkan penurunan jumlah izin pengembangan perumahan.
Hingga Maret 2025, hanya enam pengembang yang menuntaskan setplan, jauh menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca juga: DPRD Jatim Akan Telusuri Isu Kebocoran Pajak BBKB Rp 100 Miliar dari NTB
Kepala Disnaker-PMPTSP, Arif Tri Sastyawan, menyebut faktor lahan terbatas dan harga tanah yang melambung sebagai penyebab utama.
Sekarang rumah di atas Rp500 juta agak sulit dijual. Pangsa pasar dominan di bawah Rp500 juta, ungkapnya.
Akibatnya, tren pembangunan mulai beralih ke hunian vertikal seperti apartemen dan hotel. Namun Arif mengingatkan bahwa hal ini juga bukan tanpa risiko.
Pembangunan hunian vertikal tetap perlu kajian menyeluruh, baik dari sisi lingkungan, sosial, hingga dampak lalu lintas. Ini harus jadi perhatian lintas dinas, jelasnya. Alkalifi Abiyu
Editor : Redaksi