Lingkaran.net - Kabut pagi turun perlahan, menyelimuti perbukitan hijau Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.
Dari kejauhan, pepohonan kopi berdiri rapi seperti prajurit alam. Daunnya berkilau tertimpa embun.
Udara di sini sejuk, menusuk hidung namun menenangkan. Di sela-sela kabut, aroma kopi yang baru saja disangrai menguar. Seolah menjadi salam pembuka bagi siapa pun yang datang.
Lingkaran.net berkesempatan mengunjungi desa dengan luasan 3,04 Kilometer persegi ini. Sudah dua kali di Desa Banyuatis, dua kali pula pengalaman berbaur dengan dengan warga yang mayoritas beragama Hindu ini.
Ramah orangnya, indah alamnya. Seperti itu gambaran desa yang ada di Bali Utara. Desa ini pun mulai tumbuh. Villa, hotel hingga cottage mulai banyak berdiri. Turis mancanegara pun mulai melirik desa Banyuatis. Mayoritas turis dari Negara-negara Eropa.
Banyuatis bukan sekadar desa, ia adalah “tanah kopi” yang namanya tersohor hingga mancanegara. Kopi Banyuatis, terutama jenis robusta ini dikenal punya rasa pekat dengan aftertaste yang lembut.
Konon, cita rasa ini lahir dari kombinasi unik antara ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, tanah vulkanik subur, dan cara pengolahan tradisional yang diwariskan turun-temurun.
“Di sini kopi bukan hanya komoditas, tapi bagian dari hidup. Dari anak muda sampai yang sepuh, semua pernah mencicipi prosesnya, entah memetik, menjemur, atau menyangrai,” ujar Bli Yudi, warga asli Desa Banyuatis.
Setiap pagi, suara kokok ayam bersahut-sahutan dengan derit gerobak yang membawa karung-karung kopi hasil panen.
Para petani berjalan di jalanan menanjak yang kadang licin oleh kabut, membawa hasil bumi mereka ke rumah-rumah pengolahan.
Di beberapa sudut desa, tungku kayu menyala, menyangrai biji kopi secara manual dengan wajan besar.
Tak hanya kopi, Banyuatis juga menyimpan pesona wisata yang alami. Pemandangan dari lereng perbukitannya menampilkan hamparan hijau perkebunan, desa-desa kecil di kejauhan, dan garis tipis laut utara Bali.
Selain hasil bumi yang melegenda, ada air terjun yang berhasil menyedot wisatawan lokal hingga mancanegara. Air terjun itu bernama Siraman Banyuatis.
Air Terjun Siraman Banyuatis sejak dulu sudah digunakan sebagai tempat melasti dan nganyut saat upacara ngaben oleh masyarakat. Air terjun dengan tinggi 30 meter yang memiliki 2 sumber mata air yang tidak pernah keruh walaupun musim hujan, karena sumbernya dari mata air serta sumber lain dari perpaduan 2 sungai di Deda Munduk dan Gesing.
Saat sore, langit sering berwarna jingga tembaga, seolah mengabadikan hari yang hangat meski udara tetap sejuk.
Bagi pecinta kopi, berkunjung ke Banyuatis adalah pulang ke rumah kedua. Di sini, secangkir kopi bukan sekadar minuman, ia adalah cerita tentang tanah, udara, kabut, dan manusia yang hidup bersamanya.
Editor : Setiadi
