Lingkaran.net - Sebuah gerbang berwarna kuning berbentuk kubah berdiri megah di pintu masuk Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali.
Tulisan Marhaban bihudurikum yang artinya selamat datang atas kehadirannya ini menyapa setiap tamu. Pertanda jelas bahwa desa ini berbeda dari desa-desa Bali pada umumnya.
Setelah melewati gerbang, Lingkaran.net disuguhkan masjid berukuran lumayan besar yang ada di atas bukit. Masjid Jami’ Safinatussalam, namanya. Tepat di bawah masjid, ada sebuah makam penduduk Desa Pegayaman.
Tidak terlalu besar ukuran makamnya seperti di tanah Jawa. Dilansir dari sejumlah literatur, masjid tersebut didirikan oleh Kumpi Kiai Yahya pada 1639 silam.
Menurut kisah yang dilansir dari situs duniamasjid.islamic-center, sebagaimana tertulis di daun lontar yang ada di Gedong Kirtya, pada masa pemerintahan Raja I Gusti Ketut Jelantik, sehabis Perang Makasar, sempat terdampar orang-orang Jawa dan Bugis di perairan Buleleng.
Raja Buleleng I Gusti Ketut Jelantik akhirnya menempatkan orang-orang tersebut di Desa Pegayaman dengan alasan sama-sama muslim lantaran tidak mungkin dikembalikan.
Di Desa Pegayaman inilah orang-orang Jawa dan Bugis mengembangkan ajaran Islam dan berhasil mendirikan Masjid Safinatus Salam yang diprakarsai Kumpi Haji Yahya. Secara fisik, bangunannya menyerupai arsitektur Jawa.
Lingkaran.net pun menyusuri setiap gang-gang yang lebarnya sekitar 1 meter. Layaknya di kampung. Setiap gang menghubungkan rumah-rumah warga.
Pada akhirnya terlihat rumah sederhana diatas pintunya bertuliskan 'Lembaga Pusat Study Kumpi Bukit Desa Pegayaman'.
Desa Pegayaman
Lingkaran.net pun dipersilahkan masuk oleh pemilik rumah. Namanya Ketut Muhammad Suharto. Pak Ketut atau Pak Harto panggilannya. Ia adalah Tokoh adat Desa Pegayaman.
Pria yang lahir pada 13 Januari 1966 ini tumbuh besar dengan kesadaran mendalam akan sejarah dan tradisi di desanya. Ia sering disebut sebagai "sejarawan nonformal" yang mampu menggali, mencatat, dan menyampaikan kisah-kisah masa lalu Pegayaman dengan penuh semangat.
Hasil penelitiannya bahkan diterbitkan dalam buku berjudul Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Bali pada 2023.
Sejarah Desa Pegayaman: Warisan Abad ke-17
Ketut Muhammad Suharto, menceritakan bahwa desa ini berdiri sejak abad ke-17. Leluhur warga Pegayaman adalah 100 prajurit Kerajaan Blambangan (Banyuwangi) yang kalah perang melawan Kerajaan Buleleng dan Mataram pada 1647–1648.
Raja Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti kemudian menghadiahkan lahan di hutan gayam sebagai tempat tinggal mereka. Dari pohon gayam inilah nama “Pegayaman” berasal.
Hingga kini, warga Pegayaman tetap mempertahankan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari, meski mayoritas memeluk agama Islam.
Penjaga Sejarah dan Pelestari Seni Burdah
Ketut Muhammad Suharto dikenal sebagai sosok yang mengabdikan diri untuk menjaga warisan sejarah dan budaya Pegayaman.
Pada Festival Literasi Buleleng 2024, ia meraih juara pertama Lomba Penulisan Sejarah Desa.
Selain ahli sejarah, ia adalah Ketua Sekaa Burdah Burak Pegayaman, sebuah kelompok seni yang melantunkan syair pujian kepada Nabi Muhammad dengan iringan rebana. Atas dedikasinya, ia pun mendapat Penghargaan Seni Wija Kusuma dari Dinas Kebudayaan Buleleng pada Agustus 2024.
Petani, Seniman, dan Juru Bicara Desa
Selain menjadi sejarawan dan seniman, Suharto adalah petani cengkeh serta pendamping petani kopi organik.
Ia juga aktif mengurus Masjid Jami’ Safinatussalam, masjid bersejarah yang pernah meraih juara pertama lomba masjid bersejarah tingkat Provinsi Bali.
Namanya juga dikenal di kalangan akademisi. Banyak peneliti, profesor, mahasiswa, hingga wartawan datang ke Pegayaman untuk mempelajari sejarah dan akulturasi budaya di desa ini. Salah satu karyanya, “Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Buleleng Bali”, menjadi referensi penting bagi studi sejarah Islam di Bali.
Pegayaman Sebagai Wisata Budaya dan Sejarah
Kini, Desa Pegayaman menjadi destinasi wisata penelitian dan budaya. Keunikan perpaduan budaya Bali-Islam membuatnya menarik bagi wisatawan dan peneliti dari berbagai negara.
“Sejarah ini bukan milik saya, tapi milik seluruh warga Pegayaman,” ujar Suharto.
Desa Pegayaman selama ini dikenal sebagai desa tua. Mempunyai sejarah panjang bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Panji Sakti Buleleng Bali.
Nama Desa Pegayaman, tidak bisa dilepaskan dengan sejarah dari para penglingsir Kumpi Bukit yang menempati wilayah hutan rimba yang dijadikan sebagai benteng liar dari Kerajaan Buleleng dari serangan kerajaan dari arah selatan.
Kisah keberadaan Desa Pegayaman tidak bisa dilepaskan dari sebuah konsep yang sudah ada dari semenjak tahun 1611. Hal ini terungkap dari sebuah kisah yang terjadi di tahun tersebut.
Yaitu ketika Ki Barak, seorang anak yang berusia 12 tahun sedang istirahat di sebuah ketinggian yang berada di puncak pegunungan yang bila kita melewatinya dari arah utara dan arah selatan adalah merupakan puncak tertinggi, di ketinggian 1.350 meter di atas permukaan laut.
Di tempat inilah ada sebuah kejadian dan peristiwa yang sangat sakral dan berdampak positif terhadap sebuah perkembangan wilayah, yaitu Buleleng.
Kisah yang terjadi pada awal abad ke-17 ini merupakan cikal bakal dari wujud adanya sejumlah peristiwa yang sangat menarik yang sampai sekarang menjadi pola kehidupan dari masyarakat Buleleng. Khususnya Desa Pegayaman.
Peristiwa ini adalah suatu peristiwa yang bernilai politis dan dakwah. Dalam hal ini ketika di tahun 1647/1648, Ki Barak Panji Sakti membuktikan sumpah janjinya yang diucapkan di tahun 1611, untuk menaklukkan wilayah yang paling barat, yaitu wilayah Jawa Timur, Kerajaan Blambangan.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Ki Barak bekerjasama dengan Kerajaan Mataram Islam Jawa Tengah yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Amangkurat 1 yang memerintah dari tahun 1645-1677. Dalam waktu bersamaan, pasukan Kerajaan Buleleng dan Mataram bertemu dan menyerang Kerajaan Blambangan untuk ditaklukkan.
Pada kesempatan tersebut, I Gusti Anglurah Panji Sakti menawarkan kerja sama dengan Tumenggung Danupaya yang pada saat itu memimpin pasukan yang dikirim oleh Amangkurat 1 untuk menguasai Blambangan.
Tawaran yang disampaikan 1 Gusti Anglurah Panji Sakti kepada Tumenggung Danupaya diterima dengan baik. Akhirnya pada saat itu Blambangan bisa dikuasai oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti, Raja Buleleng Bali.
Kisah inilah yang mengawali adanya jamaah muslim Desa Pegayaman Bali. Berawal dari perekrutan 100 orang laskar tentara muslim yang dibawa dari Blambangan kemudian diletakkan di wilayah hutan gatep.
Daerah tersebut kemudian bernama Desa Pegayaman diambil dari kata 'gatep' yang bermakna sama dengan 'gayam' dalam bahasa Jawa. Pegayaman diambil dari dua suku kata, yaitu gayam yang berasal dari buah gatep, dan gayaman yang berasal keris, sebuah keris Jawa Surakarta.
Dalam perkembangannya, 100 laskar muslim dari Blambangan ini secara perlahan dan pasti ditugaskan sebagai penjaga Kerajaan Buleleng.
Mereka sebagai benteng pertahanan wilayah selatan. Wilayah perbukitan angker yang seluas 1.548 hektar (masuk di dalam peta 1942),
Kelak dalam perjalanan sejarah, muncul nilai-nilai yang sangat dinamis dan penuh dengan kearifan.
Di antaranya nilai akulturasi yang merupakan nilai yang sangat mendasar dan prinsip dalam hubungan kehidupan keseharian dengan sesama, meskipun berbeda agama, adat istiadat, dan kebiasaan sehari-hari. Adanya sikap yang sangat arif dari para penglingsir Pegayaman, yang dijuluki dengan Kumpi Bukit, mampu membuat sebuah nilai akulturasi yang tercipta secara alami.
Hal itu terjadi dari perkawinan di antara para penglingsir dari Jawa yang direkrut datang ke Kerajaan Buleleng oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti sebagai raja pada saat itu. Kemudian karena tuntutan biologis, menikahi gadis-gadis Bali beragama Hindu yang dimualafkan. Inilah cikal bakal munculnya nilai-nilai akulturasi yang berkembang sampai sekarang dan semua tercipta secara alamiah.
Di antara nilai-nilai akulturasi itu ialah cara memanggil anak dengan bahasa dan kebiasaan yang ada di Bali. Seperti anak pertama dipanggil dengan nama urut yang pertama di Bali, yakni Wayan.
Anak yang kedua dengan panggilan Nengah, anak yang ketiga dengan panggilan Nyoman, dan anak yang keempat dengan panggilan Ketut. Selanjutnya seberapapun punya anak terus bernama atau dipanggil Ketut.
Dalam hal berbahasa, selalu menggunakan bahasa Bali dengan standar bahasa Bali madya dan juga halus, disesuaikan dengan kondisi siapa yang diajak berbicara. Dalam kuliner demikian juga.
Para ibu-ibu Pegayaman yang berasal dari Bali, selalu menampilkan dan menyajikan kuliner yang berasal dari Bali, baik itu untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan hari raya maupun peringatan lainnya.
Editor : Setiadi
