Surabaya, Lingkaran.net Jembatan Suramadu kembali menjadi sorotan. Kali ini, bukan karena keindahannya sebagai jembatan terpanjang di Indonesia, melainkan karena meningkatnya angka kriminalitas dan kondisi jalan yang semakin memprihatinkan.
Menyikapi hal ini, muncul wacana untuk kembali memberlakukan tarif bagi pengguna jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura tersebut.
Anggota Komisi D DPRD Jawa Timur, Nurul Huda, mengusulkan agar pemerintah pusat mengkaji ulang kebijakan Jembatan Suramadu yang sejak 2018 digratiskan.
Menurutnya, penerapan tarif bisa menjadi solusi untuk dua masalah utama: kriminalitas dan infrastruktur.
"Belakangan banyak warga datang ke saya meminta agar Jembatan Suramadu bisa berbayar lagi. Selain untuk mengurangi kecelakaan dan tindak kriminal, dana dari penjualan tiket bisa dialokasikan untuk perbaikan jalan yang rusak," ujar Nurul Huda yang akrab disapa Ra Huda, Kamis (13/2/2025).
Jembatan Suramadu yang awalnya dibangun untuk meningkatkan konektivitas dan perekonomian, kini menjadi momok bagi para pengendara.
Kasus begal dan pencurian kendaraan semakin marak, bahkan muncul modus baru seperti penggunaan senar pancing untuk menjebak pengendara motor. Akibatnya, banyak warga merasa tidak aman saat melintas, terutama di malam hari.
Beberapa pihak menilai, pemberlakuan tarif dapat mengurangi potensi kriminalitas dengan membatasi lalu lintas kendaraan yang tidak bertanggung jawab. Namun, apakah ini benar-benar solusi yang efektif?
Ra Huda mengusulkan tarif yang tidak terlalu mahal, seperti Rp 3.000 untuk sepeda motor, Rp 10.000 untuk mobil, dan Rp 15.000 untuk truk. Menurutnya, dengan sistem berbayar, biaya pemeliharaan tidak lagi membebani APBN.
"Kalau berbayar, pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran negara untuk perbaikan. Biaya perawatan bisa diambil dari pendapatan karcis," jelasnya.
Namun, usulan ini mendapat respons beragam. Sebagian masyarakat, terutama pekerja dan pelaku usaha yang bergantung pada mobilitas antara Surabaya dan Madura, khawatir tarif ini akan menambah beban ekonomi mereka.
Sejumlah pihak justru menilai bahwa solusi utama bukanlah memberlakukan tarif, melainkan meningkatkan pengamanan di sepanjang jembatan. Usulan pemasangan CCTV, penerangan yang lebih baik, dan patroli rutin dianggap lebih efektif dalam menekan angka kriminalitas.
Bahkan, muncul wacana ekstrem dari beberapa kelompok yang mengusulkan agar Jembatan Suramadu ditutup atau dibongkar jika kehadirannya lebih banyak membawa dampak negatif.
Apakah pengenaan tarif benar-benar solusi atau justru menciptakan masalah baru? Ataukah yang dibutuhkan adalah langkah konkret dalam meningkatkan keamanan dan infrastruktur tanpa membebani masyarakat? Wacana ini masih akan terus bergulir dan menjadi perhatian pemerintah serta warga Madura dan Surabaya. Alkalifi Abiyu
Editor : Redaksi