Surabaya, Lingkaran.net DPRD Jawa Timur menyoroti masih rendahnya produktivitas tenaga kerja di Jawa Timur yang pada tahun 2022 hanya menempati peringkat ke-13 secara nasional.
Data menunjukkan produktivitas tenaga kerja Jatim baru mencapai sekitar Rp81,33 juta per tenaga kerja, jauh tertinggal dibanding provinsi-provinsi maju lainnya di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota DPRD Jatim dari Fraksi Partai NasDem, Khusnul Arif, dalam pembahasan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jatim 2025–2029.
Menurut Khusnul, rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia yang masih tertinggal, terutama pada kelompok perempuan. Selain itu, penguasaan teknologi, inovasi, serta kelembagaan tenaga kerja di Jatim juga dinilai belum berkembang secara merata.
"Produktivitas tenaga kerja kita bukan hanya soal jumlah lapangan kerja, tapi juga kualitasnya. Ini menjadi tantangan besar bagi Jatim," tegas Khusnul, Senin (7/7/2025).
Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui RPJMD telah merancang sejumlah program strategis seperti Millennial Job Center (MJC), Youth Creativepreneur Center (YC2), Revitalisasi Balai Latihan Kerja (UPT BLK), Double Track Pendidikan dan Pelatihan kewirausahaan pemuda.
Namun, menurut Khusnul, program-program tersebut belum sepenuhnya menyasar wilayah-wilayah dengan kantong pengangguran struktural. Ia menilai belum ada keterkaitan langsung antara pusat pertumbuhan ekonomi baru dan wilayah dengan produktivitas rendah.
"Tanpa pemetaan spasial yang baik, program hanya akan menumpuk di daerah yang sudah mapan," ujarnya.
Khusnul juga mengusulkan agar indikator produktivitas tenaga kerja di RPJMD tidak hanya menggunakan ukuran tidak langsung seperti Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan Rasio Kewirausahaan, tetapi juga menggunakan indikator langsung seperti output per sektor dan nilai tambah per tenaga kerja.
“Kita butuh data riil produktivitas per wilayah dan per sektor, agar kebijakan lebih tepat sasaran,” jelasnya.
Selain pemetaan, DPRD Jatim juga mendorong reformasi sistem pelatihan kerja berbasis kebutuhan dunia usaha (demand-driven training), serta insentif bagi sektor industri dan pertanian agar lebih efisien dan inovatif.
“Kalau kita ingin mengejar ketertinggalan, produktivitas harus menjadi indikator utama, bukan hanya pelengkap laporan kinerja,” tegas Khusnul.
DPRD Jatim berharap ke depan, peningkatan produktivitas tenaga kerja dapat menjadi tolak ukur lintas sektor dalam pembangunan daerah, bukan sekadar target jangka panjang.
“Jatim punya potensi besar, tapi harus dikelola secara inklusif dan merata agar bisa benar-benar jadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional,” pungkas Khusnul. (*)
Editor : Alkalifi Abiyu