Lingkaran.net - Di dunia, tempat kebijakan sering dibentuk oleh orang dewasa untuk orang dewasa, revolusi tenang sedang berlangsung di Indonesia—yang dapat mengubah cara kita memerangi kemiskinan dan membangun ekonomi yang lebih tangguh.
Inti dari pergeseran ini adalah ide sederhana yang menipu: dengarkan anak-anak.
Sejak tahun 2023, Kementerian Keuangan Indonesia, bekerja sama dengan Unicef dan Universitas Indonesia, telah mengadopsi alat baru untuk mengukur kemiskinan: Indeks Perampasan Multidimensi – Indonesia (MDI-I).
Tidak seperti metrik kemiskinan tradisional yang hanya berfokus pada pendapatan, MDI-I menangkap gambaran yang lebih luas—akses ke pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, dan banyak lagi. Dan yang terpenting, ini mengungkapkan di mana anak-anak ditinggalkan.
Antara tahun 2020 dan 2023, Indonesia membuat kemajuan yang terukur. Proporsi orang yang hidup dalam kemiskinan multidimensi turun dari 12,44% menjadi 10,96%, dan skor perampasan keseluruhan turun dari 0,0515 menjadi 0,0448.
Tetapi tidak semua indikator membaik. Lima dari tiga belas indikator memburuk — dan kebanyakan dari mereka terkait dengan anak: tahun sekolah, vaksinasi anak, pendidikan prasekolah, pekerjaan, dan aset.
Ini bukan hanya masalah sosial; mereka adalah tanda bahaya ekonomi.
Ketika anak-anak kehilangan layanan dan kesempatan dasar, konsekuensi jangka panjang beriak di seluruh masyarakat, mengakibatkan produktivitas yang lebih rendah, biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi, dan berkurangnya ketahanan ekonomi.
Penelitian global Unicef menunjukkan bahwa mengecualikan anak-anak dari keputusan kebijakan menyebabkan pengeluaran yang tidak efisien dan peluang yang terlewatkan. Ketika anak-anak terlibat dalam membentuk layanan yang mereka gunakan—seperti sekolah, klinik, dan program komunitas, layanan tersebut menjadi lebih efektif.
Di Nepal dan Ethiopia, partisipasi anak dalam pemerintahan lokal mengarah pada penargetan anggaran yang lebih baik dan mengurangi pemborosan. Di Indonesia, MDI-I menyediakan landasan berbasis data untuk melangkah lebih jauh.
Tetapi untuk benar-benar menutup kesenjangan tersebut, kita perlu beralih dari data ke dialog. MDI-I mengungkapkan di mana anak-anak dirampas, tetapi belum menjelaskan alasannya. Untuk itu, kita perlu bertanya kepada mereka.
Apa yang membuat mereka keluar dari sekolah? Mengapa mereka putus sekolah? Apa yang akan membuat mereka merasa aman dan didukung?
Di sinilah ALIFA (Analisis dan Layanan Informasi Fiskal terkait Anak) masuk—alat pemantauan fiskal inovatif yang dikembangkan oleh Kementerian Keuangan, Unicef, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
ALIFA dirancang untuk menganalisis dan melacak anggaran pendapatan dan anggaran daerah (APBD) untuk memastikannya inklusif dan memprioritaskan hak dan kesejahteraan anak.
Tidak seperti tinjauan anggaran tradisional, ALIFA membedah data fiskal yang kompleks di seluruh sektor untuk mengisolasi pengeluaran yang secara langsung menguntungkan anak-anak.
Ini memberdayakan pemerintah daerah untuk secara transparan mengidentifikasi, merencanakan, dan mengalokasikan dana untuk program perlindungan anak, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan. Dan itu dapat diakses publik melalui sikd.go.id, memungkinkan masyarakat sipil, peneliti, dan bahkan anak-anak sendiri untuk meneliti bagaimana dana publik digunakan.
Bersama-sama, MDI-I dan ALIFA membentuk cetak biru yang kuat untuk tata kelola responsif anak. Seseorang mengidentifikasi di mana kekurangan ada; yang lain memastikan sumber daya diarahkan untuk mengatasinya. Kedua alat tersebut memperkuat komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan undang-undang perlindungan anak nasional.
ALIFA juga mendukung pemerintah daerah dalam mencapai penunjukan "kota ramah anak" atau kabupaten/kota layak anak. Dengan mendorong pembelajaran sebaya dan persaingan yang sehat antar daerah, ini mempromosikan perlombaan ke puncak dalam tata kelola yang berfokus pada anak.
Ini juga menumbuhkan budaya transparansi dan akuntabilitas, memungkinkan masyarakat untuk melacak kemajuan dan mengadvokasi hasil yang lebih baik. Namun, alat saja tidak cukup.
Menanamkan lensa yang berfokus pada anak ke dalam kebijakan fiskal membutuhkan koordinasi lintas sektoral, pengembangan kapasitas, dan pergeseran budaya dalam cara kita memandang peran anak-anak dalam masyarakat.
Penganggaran tradisional sering memprioritaskan infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi, mengesampingkan kebutuhan anak yang bernuansa.
ALIFA menantang norma ini dengan membuat anak-anak terlihat dalam angka-angka—dan dengan perluasan, dalam kebijakan yang membentuk kehidupan mereka.
Mungkin yang paling menginspirasi adalah visi bersama di balik MDI-I dan ALIFA: model tata kelola di mana suara anak-anak tidak hanya didengar tetapi juga diintegrasikan ke dalam perencanaan anggaran.
Bayangkan dunia di mana kaum muda membantu membentuk kebijakan yang memengaruhi pendidikan, kesehatan, dan keselamatan mereka.
Ini bukan hanya keharusan moral—ini adalah langkah ekonomi strategis. Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh Indonesia menegaskan bahwa anak-anak memiliki hak untuk didengar dalam hal-hal yang memengaruhi mereka.
Sudah saatnya kita menganggapnya serius—tidak hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai investasi yang bijaksana di masa depan kita.
Ketika negara-negara bergulat dengan pemulihan pascapandemi, guncangan iklim, dan ketimpangan yang melebar, partisipasi anak bukanlah kemewahan—ini adalah keharusan.
Indonesia memimpin, tetapi pelajarannya adalah global: berhenti merancang kebijakan untuk anak-anak tanpa mempertimbangkan kebutuhan mereka. Masa depan Indonesia Emas tergantung padanya.
Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli 2025.Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045.
Penulis: Arie Rukmantara
Chief Field Office, Unicef Indonesia
Editor : Zaki Zubaidi