Lingkaran.net - Jawa Timur mencatat lonjakan kasus baru HIV/AIDS tertinggi di Indonesia pada 2025. Data gabungan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menunjukkan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mencapai 65.238 jiwa, dengan tambahan 2.599 kasus baru hanya dalam periode Januari–Maret 2025.
Angka ini memunculkan alarm epidemiologis. Penularan telah merata di banyak wilayah, tidak lagi berkutat pada satu kota. Lima daerah dengan kasus tertinggi berdasarkan catatan BPS di antaranya Surabaya 368 kasus, Sidoarjo 270 kasus, Jember 229 kasus, Tulungagung 209 kasus dan Pasuruan 178 kasus.
Baca juga: Jawa Timur Basis Unggas Nasional, Fraksi PDIP Dorong Pabrik Pakan Berdaya Saing
Surabaya tetap berada di puncak meski sempat mencatat tren penurunan, mengukuhkannya sebagai episentrum HIV/AIDS di Jawa Timur.
Isu ini langsung direspons Ketua Fraksi PKS DPRD Jawa Timur, Lilik Hendarwati, yang juga legislator Dapil Surabaya. Ia menegaskan bahwa lonjakan ini bukan sekadar statistik, melainkan peringatan darurat kesehatan publik.
“Kita prihatin. Ini alarm bahwa Surabaya membutuhkan langkah lebih serius, terarah, dan menyeluruh,” ujar Lilik, Senin (1/12/2025).
Edukasi Harus Masuk Sekolah, Jangan Tunggu Anak Jadi Angka Statistik
Lilik menekankan bahwa pencegahan HIV tidak cukup di level layanan kesehatan, tetapi harus dimulai dari edukasi populasi usia produktif, terutama remaja.
“Pemerintah wajib memberi edukasi yang benar, jelas, dan mudah dipahami tanpa memunculkan kepanikan,” tegasnya.
Menurutnya, sekolah menjadi ruang paling strategis untuk intervensi. Literasi kesehatan reproduksi, risiko penularan, serta cara perlindungan diri harus diberikan sejak dini.
“Ini bukan menakut-nakuti. Ini memastikan generasi muda tumbuh dengan pengetahuan yang benar, agar tidak mudah terjebak perilaku berisiko,” katanya.
Baca juga: DPRD Jatim Ingatkan 2 Bandara Ini Terancam Sepi Penumpang Kalau Akses Tak Dibenahi
Kolaborasi Pentahelix: Pemerintah, Komunitas, Tokoh Agama Harus Kompak
Lilik juga menyerukan pendekatan pentahelix berbasis humanis: pemerintah, sekolah, fasilitas kesehatan, komunitas, dan tokoh agama wajib berada dalam satu orkestrasi pencegahan.
“Kita harus bijak bertindak, tapi waspada sejak awal. Kesadaran adalah langkah pertama menuju perlindungan,” ujarnya.
Ia menegaskan, tantangan terbesar bukan hanya penularan virus, tetapi stigma dan misinformasi yang kerap melahirkan diskriminasi.
“Dengan edukasi yang benar dan respons terkoordinasi, kita bisa menekan laju penularan HIV di Surabaya tanpa stigma dan tanpa kepanikan,” pungkasnya.
Baca juga: UU ASN Direvisi, DPRD Jatim: Karier PNS Eselon II Tak Lagi Jadi Korban Pilkada
Langkah Mendesak yang Harus Dikuatkan
Berdasarkan sorotan lonjakan kasus, sejumlah langkah yang dinilai mendesak diperkuat di Jawa Timur antara lain edukasi publik berkelanjutan, perluasan skrining/tes HIV di puskesmas, klinik, dan rumah sakit.
Disamping itu, lanjut Lilik, pendampingan intensif bagi ODHA untuk menekan penularan dan mempercepat pengobatan dinilai penting serta kampanye anti-stigma berbasis komunitas.
Tanpa langkah-langkah ini, Lilik memperingatkan bahwa bonus demografi 2045 bisa justru menjadi “gelombang rentan” penularan jika generasi muda tidak dibekali ilmu yang cukup.
"Jawa Timur kini berada pada momen krusial, cegah lebih dini atau menanggung beban infeksi lebih tinggi di masa depan," pungkasnya.
Editor : Setiadi