Lingkaran.net - Burung Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), satwa langka yang menjadi simbol negara Indonesia, kembali terpantau di Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo.
Kemunculan satwa endemik Pulau Jawa ini menjadi kabar menggembirakan di tengah kekhawatiran akan tingginya ancaman perburuan liar di kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Elang Jawa merupakan spesies burung pemangsa berukuran sedang dari keluarga Accipitridae yang hanya ditemukan di Pulau Jawa.
Burung ini dianggap sakral karena identik dengan makhluk mitologi Hindu-Buddha, yakni Garuda, yang juga dijadikan lambang negara Indonesia.
Sejak tahun 1992, Elang Jawa resmi ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia.
Sadrah Devi, Kepala Seksi Perencanaan Pengembangan dan Pemanfaatan UPT Tahura Raden Soerjo mengungkapkan, kawasan Tahura yang mencakup lereng Gunung Arjuno-Welirang ini merupakan habitat penting bagi berbagai satwa liar.
“Dari data kami, terdapat sekitar 190 jenis burung, dan setidaknya ada 7 ekor Elang Jawa yang masih terpantau di kawasan ini,” ungkap Sadrah kepada Lingkaran.net, Kamis (31/7/2025).
Elang Jawa. (Foto: Dok Tahura Raden Soerjo)
Tak hanya Elang Jawa, Tahura Raden Soerjo juga menjadi rumah bagi berbagai fauna langka lainnya seperti Lutung Jawa, burung Rangkong, Kijang, Trenggiling, hingga Macan Tutul, yang saat ini masih dalam proses pemantauan.
Sayangnya, kekayaan biodiversitas ini terus terancam. Menurut Sadrah, praktik perangkap liar dan perburuan satwa masih marak terjadi, bahkan kerap dilakukan dengan cara-cara ekstrem.
“Kami pernah menemukan jaring perangkap sepanjang satu kilometer, bahkan ada yang menggunakan senapan angin dan menginap di hutan. Mereka membuat api unggun, dan ini sangat berbahaya karena bisa memicu kebakaran hutan,” tambahnya.
Sadrah mengungkapkan bahwa motif utama perburuan satwa ini bervariasi. Mulai dari alasan ekonomi untuk diperjualbelikan secara ilegal, hingga alasan hobi.
Padahal, lanjut dia, seluruh flora dan fauna di Tahura memiliki manfaat ekologis penting yang saling berkaitan dalam satu ekosistem.
“Kerugian akibat perburuan ini tidak terhitung. Jika satu bagian ekosistem rusak, maka ekosistem lain akan terdampak,” jelas Sadrah.
Dampak dari kerusakan tersebut sudah mulai terasa. Sadrah menyebutkan, pasca kebakaran hutan yang terjadi beberapa waktu lalu, sejumlah sumber mata air mengalami penyusutan debit, menunjukkan penurunan daya serap kawasan terhadap air hujan.
Beberapa pelaku perburuan telah berhasil diamankan dan diproses hukum. Namun, efek jera belum terasa, karena praktik serupa masih terjadi di berbagai titik kawasan konservasi.
Pihak UPT Tahura Raden Soerjo terus berupaya mengedukasi masyarakat sekitar serta meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perburuan dan perusakan lingkungan.
Editor : Setiadi