Lingkaran.net - Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) menyelenggarakan program "Skrining Dini dan Edukasi Kanker untuk Refugees" pada 22–23 Juli 2025. Kegiatan ini bukan sekadar sosialisasi kesehatan, tapi menjadi ruang empati dan solidaritas yang menjembatani ilmu pengetahuan dengan kemanusiaan.
Para peserta datang dari berbagai negara yang tengah dilanda konflik dan krisis kemanusiaan, seperti Pakistan, Afghanistan, dan Sudan. Di negeri asing yang mereka singgahi demi keselamatan, para pengungsi ini mendapatkan kesempatan langka memahami tubuh mereka dan belajar mengenali bahaya kanker sejak dini—gratis dan dalam bahasa yang mereka pahami.
Salah satu narasumber dalam acara tersebut, dr. Aditya Bhayusakti, Sp.B, FINACS, dokter sekaligus dosen UNUSA menjelaskan soal kanker paru-paru, kanker payudara, dan leher rahim merupakan tiga jenis yang paling sering ditemukan. Namun sering terlambat ditangani karena minimnya kesadaran.
“Kanker bukan akhir dari segalanya, tapi awal kesembuhan hanya bisa dimulai dari kesadaran. Sayangnya, banyak yang tidak tahu gejalanya atau takut memeriksakan diri. Di sinilah kami ingin hadir,” ujar dr. Aditya.
Menurut WHO, banyak kasus kanker di negara berkembang ditemukan dalam stadium lanjut. Bukan karena penyakitnya lebih ganas, melainkan karena keterbatasan akses informasi dan layanan. Fakta itu menjadi dasar UNUSA untuk hadir bukan di ruang kelas atau rumah sakit, tetapi langsung di tengah masyarakat yang paling rentan.
“Pengungsi bukan warga negara kelas dua. Mereka punya hak yang sama untuk hidup sehat, dan kami merasa terhormat bisa menjadi bagian dari perjuangan itu,” tambah dr. Aditya.
Tim medis yang hadir di acara tersebut pun mengajak peserta mengenali gejala awal kanker, yakni berupa benjolan yang mencurigakan, perdarahan tidak wajar, luka yang tak kunjung sembuh, hingga batuk darah yang berkepanjangan.
Mahasiswa Belajar Empati Lewat Aksi
Mahasiswa UNUSA pun tidak sekadar menjadi penonton, melainkan terlibat langsung dalam edukasi dan pendampingan peserta. Dari kegiatan ini, mereka belajar bahwa profesi medis lebih dari sekadar praktik klinis.
“Kami sadar, menjadi tenaga kesehatan berarti siap hadir di mana pun manusia membutuhkan. Ini bukan hanya tentang pengobatan, tapi tentang kemanusiaan,” kata salah satu mahasiswa yang turut serta.
Lewat skrining dan edukasi ini, UNUSA dan IOM tak hanya menyampaikan pesan kesehatan, tapi juga menyuntikkan kepercayaan diri pada para pengungsi. Bahwa tubuh mereka layak dikenali, bahwa rasa sakit boleh diceritakan, dan bahwa mereka tidak sendirian.
Karena di balik batas negara dan label ‘pengungsi’, mereka tetap manusia—dengan hak untuk sehat, hak untuk tahu, dan hak untuk sembuh.
Editor : Baehaqi
