Lingkaran.net - Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih, menyoroti fenomena penyimpangan orientasi seksual yang kembali mencuat setelah penggerebekan pesta sesama jenis di Surabaya yang melibatkan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) asal Sidoarjo.
Politisi perempuan yang dikenal fokus pada isu perlindungan perempuan dan anak ini menegaskan, penyimpangan orientasi seksual tidak bisa dilihat dari status sosial atau latar belakang seseorang.
Fenomena tersebut, kata Hikmah, bisa muncul di lapisan masyarakat mana pun.
“Fenomena penyimpangan orientasi seksual itu tidak bisa dipilah-pilah. Mau ASN atau bukan, mau dari lingkungan religius atau tidak, semuanya punya potensi yang sama. Ini fakta sosial yang harus dihadapi dengan pendekatan yang bijak,” ujar Hikmah saat dikonfirmasi, Selasa (21/10/2025).
Menurut politisi PKB ini, akar masalah perilaku seksual menyimpang sering kali berawal dari pola asuh dan lingkungan tumbuh kembang anak.
Ia menilai, pembentukan identitas gender yang kuat sejak dini merupakan kunci utama dalam mencegah penyimpangan orientasi seksual di masa depan.
“Kekukuhan kita terhadap identitas gender harus diupayakan sejak kecil. Itu tanggung jawab orang tua, lingkungan, dan lembaga pendidikan. Kalau sejak awal panduan nilai tentang benar dan salah saja masih kabur, anak-anak bisa bingung menentukan identitas gendernya,” jelas Hikmah.
Hikmah juga menyoroti pengaruh media sosial dan budaya populer yang terkadang ikut menormalisasi perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial dan agama.
“Sekarang, banyak konten viral di media sosial yang justru menampilkan perilaku melambai seolah sesuatu yang lucu dan menguntungkan. Dari sinilah sikap permisif terhadap penyimpangan mulai tumbuh,” ujarnya.
Ia menambahkan, sebagian besar orientasi seksual menyimpang tidak muncul tiba-tiba, melainkan berakar dari pengalaman traumatis di masa lalu, seperti kekerasan seksual atau perundungan sosial.
“Ada beberapa kasus anak-anak yang saya dampingi, yang kemudian menjadi gay karena dulunya disodomi atau dirundung oleh pelaku dewasa. Itu meninggalkan trauma yang sulit disembuhkan,” ungkap Hikmah.
Terkait keterlibatan ASN dalam kasus terbaru di Surabaya, Hikmah meminta publik untuk tidak hanya fokus pada sanksi, tetapi juga mendorong peran negara dalam penegakan nilai moral sekaligus perlindungan sosial.
“Negara hanya mengakui dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Prinsip ini harus ditegakkan. Tapi di sisi lain, mereka yang memiliki orientasi berbeda tetap manusia dan warga negara yang punya hak hidup, hak pendidikan, dan hak kesehatan,” tegasnya.
Hikmah menilai, pendekatan yang represif tanpa penyadaran sosial justru bisa membuat kelompok dengan orientasi berbeda semakin tertutup dan sulit diajak kembali pada nilai-nilai yang benar.
“Kalau kita mengabaikan atau menghina mereka, mereka justru akan semakin kukuh di habitatnya. Padahal bisa jadi mereka bisa berubah, asal didekati dengan cara yang tepat,” pungkasnya.
Editor : Setiadi