Surabaya, Lingkaran.net Ketegangan politik antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kembali mencuat ke permukaan, memicu pertanyaan besar tentang masa depan aliansi yang telah lama terjalin ini.
Pertemuan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi justru menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan, menandai semakin terpecahnya arah perjuangan antara dua pilar besar kaum Nahdliyin.
Sekretaris DPW PKB Jawa Timur, Anik Maslachah, menyuarakan keresahannya atas sikap PBNU yang dianggap semakin menjauh dari PKB.
"PKB lahir dari rahim NU dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah, dan ini seharusnya tidak dilupakan. Namun, langkah-langkah PBNU saat ini mengisyaratkan sebaliknya," ujar Anik, Selasa (13/8/2024).
Anik menyoroti bagaimana Ketua PBNU Yahya Cholil Qoumas, yang akrab disapa Gus Yahya, tampaknya sengaja membuka ruang bagi partai-partai lain dan berusaha mereduksi peran PKB di kalangan warga Nahdliyin.
"Gus Yahya seakan-akan memberi sinyal bahwa PKB bukan lagi satu-satunya rumah politik bagi NU," lanjutnya dengan nada penuh keprihatinan.
Sejak Pilpres dan Pileg 2024, sejumlah tokoh penting PBNU, termasuk Gus Ipul, secara terbuka menyatakan bahwa NU tidak memiliki hubungan istimewa dengan PKB.
Pernyataan ini, menurut Anik, semakin memperlebar jarak antara PKB dan NU, menciptakan kegelisahan di antara konstituen yang selama ini melihat keduanya sebagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Namun, Anik tetap optimis bahwa hubungan ini bisa diperbaiki jika PBNU kembali kepada peran utamanya sebagai pembimbing spiritual dan moral bagi umat, bukan sebagai alat politik praktis.
"Kami yakin bahwa ketika PBNU kembali pada peran aslinya, hubungan yang saat ini terputus bisa kembali terjalin dengan baik," tegasnya.
Di sisi lain, cucu pendiri NU KH Bisri Syansuri, Abdussalam Shohib atau Gus Salam, juga angkat suara mengenai pertemuan yang terjadi di Tebuireng.
Gus Salam menyayangkan fokus pertemuan tersebut yang lebih condong pada upaya merebut kembali PKB dari tangan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB saat ini.
"Kiai-kiai struktural NU tidak seharusnya berkumpul hanya untuk membahas hal ini. PKB dan PBNU adalah dua entitas yang berbeda, dan seharusnya diperlakukan sebagai demikian," ujar Gus Salam dengan nada tegas.
Ia menambahkan bahwa tindakan represif terhadap PKB, yang dianggap sebagai campur tangan yang tidak perlu, hanya akan merusak citra NU sebagai organisasi keagamaan yang independen.
"Jika ada niat baik, seharusnya dilakukan dengan pendekatan persuasif, bukan melalui intervensi yang menciptakan kesan bahwa PBNU sedang berpolitik praktis," tambahnya.
Gus Salam juga mengkritik kepemimpinan PBNU saat ini, yang menurutnya telah membawa organisasi yang didirikan kakeknya itu ke arah yang tidak seharusnya.
Ia membandingkan situasi saat ini dengan masa kepemimpinan KH Maruf Amin dan KH Said Aqil Siroj, yang dinilainya lebih bijaksana dan berakhlak tinggi dalam menjalankan peran mereka.
"Pernyataan Kiai Maruf Amin dan Kiai Said Aqil Siroj jauh lebih menunjukkan kebijaksanaan, kearifan serta tingginya ilmu dan akhlak mereka. Ini yang harus kita rindukan dari para pemimpin kita," pungkas Gus Salam.
Dengan ketegangan yang terus meningkat, pertanyaan besar pun muncul: Apakah PBNU dan PKB akan mampu melewati krisis ini dan kembali bersatu?
Ataukah perpecahan ini justru akan melahirkan konfigurasi politik baru di kalangan Nahdliyin yang selama ini dikenal solid? Jawabannya mungkin akan menentukan arah masa depan politik Indonesia. Alkalifi Abiyu
Editor : Redaksi