x lingkaran.net skyscraper
x lingkaran.net skyscraper

Menghidupkan Ibrahim dan Ismail dalam Diri Kita

Avatar Redaksi

Opini

Penulis Opini : Gegeh B Setiadi 

Iduladha bukan hanya milik orang-orang beriman, tetapi juga milik mereka yang ingin belajar menjadi manusia yang lebih baik. Ia adalah panggilan universal untuk kembali pada nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Setiap tahunnya, umat Islam di seluruh dunia merayakan Iduladha dengan gegap gempita. Mulai dari takbir yang berkumandang di malam hari, salat Id yang mempersatukan umat di tanah lapang, hingga prosesi penyembelihan hewan kurban yang menyentuh banyak hati.

Namun, di balik ritual-ritual yang sudah begitu akrab ini, Iduladha menyimpan pesan yang jauh lebih dalam. Sebuah panggilan untuk merenungi makna sejati dari pengorbanan, ketulusan, dan kepedulian sosial.

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang menjadi dasar peringatan Iduladha bukan sekadar cerita legendaris, melainkan potret keberanian spiritual yang sangat luar biasa.

Ketika Tuhan meminta Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, ia tidak sedang diuji secara logika, melainkan diuji hatinya. Apakah cinta dan ketundukannya kepada Tuhan lebih besar daripada keterikatan emosional terhadap hal yang paling ia cintai?

Demikian juga Ismail, yang rela menjadi "kurban", menunjukkan bahwa ketaatan dan pengorbanan bukan hanya dimiliki oleh sang ayah, tetapi juga oleh sang anak.

Makna ini seharusnya tidak berhenti pada simbolik penyembelihan hewan. Iduladha mengajak kita semua untuk melihat ke dalam diri sendiri. Apa yang telah kita korbankan dalam hidup ini, dan untuk siapa?

Di zaman sekarang, di mana kecepatan informasi, mobilitas sosial, dan gaya hidup serba instan telah menjadi norma, makna pengorbanan justru kerap terpinggirkan.

Bahkan, kita cenderung ingin hasil yang cepat, instan, dan minim proses. Padahal, nilai pengorbanan tidak bisa dilepaskan dari proses panjang, kesabaran, dan keberanian melepaskan sesuatu demi kebaikan yang lebih besar.

Coba kita lihat sekitar. Di tengah banyaknya kesenjangan sosial, apakah kita rela menyisihkan waktu untuk membantu orang lain?

Di tengah krisis empati yang makin nyata, di mana berita tentang penderitaan sesama hanya jadi ‘scrolling’ singkat di media sosial. Apakah kita masih mampu berhenti sejenak dan bertindak nyata?

Iduladha juga bicara soal distribusi keadilan. Daging kurban tidak hanya diperuntukkan bagi yang berkurban, tetapi terutama untuk mereka yang kekurangan. Inilah bentuk nyata dari keadilan sosial dalam Islam.

Ketika seseorang yang biasanya tak pernah mencicipi daging akhirnya bisa menikmatinya karena kurban dari sesamanya, di situlah semangat ukhuwah (persaudaraan) benar-benar hidup. Tidak ada kasta dalam penerimaan daging kurban. Kaya, miskin, tua, muda, semua berhak mendapat bagian.

Sayangnya, semangat ini sering tergelincir menjadi seremoni tahunan yang nyaris kehilangan ruhnya. Banyak orang memaknai kurban hanya sebagai “kewajiban keagamaan” yang harus ditunaikan, tanpa benar-benar memahami pesan spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya.

Bahkan, tak jarang momen Iduladha menjadi ajang pamer, tentang siapa yang menyumbang sapi paling besar atau berapa jumlah kambing yang dikurbankan.

Padahal, nilai kurban bukan diukur dari besar kecilnya hewan yang disembelih, tetapi dari keikhlasan hati saat menjalaninya.

Seperti Ibrahim yang bersedia menyerahkan Ismail tanpa syarat, dan seperti Ismail yang rela menjalani takdirnya demi ketundukan pada kehendak Ilahi, kita pun dipanggil untuk belajar melepaskan. Melepaskan ego, ambisi pribadi, dan kesenangan sesaat demi sesuatu yang lebih bermakna: kemanusiaan.

Di tengah dunia yang terus berubah dan tak menunggu, Iduladha menjadi rem spiritual yang mengingatkan kita untuk tetap bersandar pada nilai-nilai luhur. Keberanian berkorban, ketulusan dalam berbagi, dan komitmen terhadap kemaslahatan bersama.

Ia hadir bukan untuk membawa kita mundur, tetapi untuk memandu langkah kita agar tidak kehilangan arah dalam perjalanan hidup yang penuh godaan.

Iduladha bukan hanya milik orang-orang beriman, tetapi juga milik mereka yang ingin belajar menjadi manusia yang lebih baik. Ia adalah panggilan universal untuk kembali pada nilai-nilai dasar kemanusiaan: cinta, pengorbanan, dan solidaritas.

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang seringkali kering makna, Iduladha datang sebagai oase spiritual. Mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: “Apa yang sudah saya korbankan untuk sesama?”

Semoga Iduladha tahun ini tidak hanya jadi rutinitas tahunan, tetapi menjadi titik balik untuk menumbuhkan kembali rasa empati, keikhlasan, dan tanggung jawab sosial dalam hidup kita.

Karena sejatinya, setiap dari kita adalah Ibrahim, dan setiap dari kita memiliki 'Ismail' yang harus kita relakan demi kebaikan yang lebih besar. (*)

Artikel Terbaru
Kamis, 11 Des 2025 20:09 WIB | Politik & Pemerintahan

Diskop UKM Gelar Pelatihan Dimsum, Lilik Hendarwati: Efektif Dongkrak Kreativitas UMKM Perempuan di Jatim

Lingkaran.net - Program pemberdayaan perempuan pelaku UMKM kembali mendapat perhatian DPRD Jawa Timur. Ketua Fraksi PKS, Lilik Hendarwati, menilai pelatihan ...
Kamis, 11 Des 2025 18:40 WIB | Politik & Pemerintahan

Ketua Komisi A DPRD Jatim Dukung SE Mendagri: Kepala Daerah Wajib Standby hingga 15 Januari 2026

Lingkaran.net - Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur, Dedi Irwansya, menanggapi terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang melarang seluruh ...
Kamis, 11 Des 2025 17:37 WIB | Politik & Pemerintahan

Khofifah Kucurkan Rp48 Miliar, Wakil Ketua DPRD Jatim Sri Wahyuni: Anak Jatim Wajib Tetap Sekolah

Lingkaran.net - Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sri Wahyuni, menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap Program Bantuan Biaya Pendidikan Peserta Didik ...