Lingkaran.net - Zaman dahulu, penyiaran adalah tentang ketinggian. Menara-menara siaran memancarkan suara seperti matahari pagi: merata, menyeluruh, satu arah. Pemerintah berbicara, rakyat mendengar. Radio menjadi pengantar malam, televisi menjadi jendela dunia. Tetapi kini, langit tak lagi punya satu matahari. Setiap orang adalah pusat orbitnya sendiri. Dunia tak lagi vertikal, ia mendatar: saling menyela, saling berbagi, saling merasa penting.
Namun satu hal yang tak berubah: manusia tetap ingin didengar.
Di Jawa Timur, seperti halnya daerah lain di republik ini, lembaga penyiaran menghadapi persoalan yang nyaris seragam: kehilangan arah di tengah kepungan algoritma. Stasiun televisi lokal, yang dulu digadang sebagai suara alternatif, kini seperti kapal tua yang mencoba berlayar di samudra baru dengan peta lama. Acara musik, dialog formal, sinetron murah dan apa adanya, berita kegiatan dinas, semuanya seperti gema dari masa lalu yang belum selesai.
Lantas kita pun bertanya: apakah penyiaran kita hanya bisa mengulang, atau berani menafsir ulang?
Sosiolog komunikasi Denis McQuail mengingatkan bahwa media bukan sekadar penyampai informasi, melainkan pembentuk realitas. Jika televisi hanya menyajikan yang laku jual, bukan yang perlu diketahui, maka publik disuguhkan cermin retak. Menjadi gambaran dunia yang sempit, kehilangan kedalaman. Dan inilah krisis sebenarnya, bukan hanya krisis konten, tapi krisis kebermaknaan.
Padahal, Jawa Timur bukan tanah yang tandus cerita. Ia subur oleh kebudayaan, semesta oleh talenta. Dari ritual lama di Rejoso, pemuda-pemudi kreatif di Malang, petani kopi di lereng Ijen, lompatan karya di Surabaya, hingga komunitas musik tradisi di Madura. Semuanya adalah narasi yang menunggu untuk dipanggil pulang ke ruang siar. Tetapi di mana televisi lokalnya? Mengapa tak satu pun menyapa mereka?
Ada yang mengatakan, tak ada dana. Ada yang beralasan, pasar tak mau. Tapi yang lebih jujur mungkin ini, kita malas untuk berubah. Tapi tak ada yang surut dalam semangat dan keinginan kuat. Ada yang mau berubah dan terus berbenah.
Tentu, bukan berarti tak ada upaya. TV9 mulai membangun kanal Islami berbasis komunitas. JTV, meski masih terpaut oleh format lama, mulai mengintip potensi TikTok dan YouTube. Suara Surabaya Radio, walau bukan televisi, tetap menjadi panggung rakyat karena satu hal: keberanian memberi ruang bagi suara warga, tanpa disaring protokol.
Mereka ini bukan pelari tercepat. Tapi merekalah pelari paling tulus di tengah kelelahan industri.
Di sinilah teori Henry Jenkins tentang media convergence menjadi kunci. Bukan lagi soal platform, tapi soal kemampuan merangkai cerita di berbagai saluran. Dari televisi ke Instagram Live, dari siaran langsung ke podcast, dari panggung ke ponsel. Dalam dunia yang berjejaring, satu cerita bisa hidup di banyak bentuk, selama ia jujur dan berakar.
Bayangkan jika stasiun TV lokal bermitra dengan komunitas nelayan di Tuban untuk mengangkat tradisi laut mereka. Atau bekerja sama dengan seniman di Kediri untuk menyiarkan teater rakyat ke kanal digital. Atau menjadikan siswa SMK di Banyuwangi sebagai produser program pendidikan bagi remaja sebayanya. Bukan sekadar konten, tapi keberanian membiarkan rakyat menjadi penulis ceritanya sendiri.
Lalu siapa yang memulai?
KPID tak bisa lagi hanya jadi penegur. Tapi juga menjadi pelindung ide, pemantik semangat. Kampus tak cukup hanya punya laboratorium TV, ia harus menciptakan ekosistem kreatif. Pemerintah daerah tak cukup bangga dengan pembangunan jalan, tetapi perlu membangun jalan cerita rakyatnya. Dan masyarakat, terutama generasi muda perlu diyakinkan bahwa menjadi penyiar bukan hanya soal karier, tetapi soal tanggung jawab naratif: merawat suara kampungnya agar tak hilang ditelan kota.
Maka mari kita akhiri cinta lama kepada menara-menara tinggi. Masa depan penyiaran bukan lagi tentang ketinggian, tetapi kedalaman. Bukan tentang siapa yang lebih keras bersuara, tapi siapa yang lebih jujur berbicara.
Di tengah semesta data dan konektivitas yang saling bertabrakan, kita membutuhkan ruang yang hening. Sebuah tempat di mana suara manusia bisa hadir, didengar, dan dimaknai. Dan jika Jawa Timur berani memulainya, maka ia bukan sekadar menyelamatkan industri. Ia sedang menyelamatkan jiwa dari kelupaan.
Penulis: Aan Haryono (Komisioner KPID Jawa Timur)
Editor : Zaki Zubaidi