Lingkaran.net - Aksi demo besar-besaran di Pati, Jawa Tengah menuai perhatian. Massa sempat melempari Bupati Sudewo yang menemui mereka di depan Pendopo pada 14 Agustus 2025.
Belasan orang dilaporkan terluka akibat demo tersebut. Korban tidak hanya berasal dari sipil, tetapi juga petugas kepolisian.
Baca juga: Cara Edit Ikuti Trend Foto Brave Pink dan Hero Green, Ternyata Ini Maknanya
Demo terjadi di depan Kantor Bupati Pati, Sudewo. Aksi dipicu oleh rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Meski sudah dibatalkan, namun massa tetap turun langsung melakukan aksi. Ratusan orang diperkirakan turun ke depan Kantor Bupati Pati.
Pati memang erat kaitannya dengan protes. Sejarah panjang perlawanan terhadap pajak telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Pati.
Mulai dari pemberontakan Pragola di masa Mataram, ajaran Samin Surosentiko, hingga polemik Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) pada 2025, benang merahnya tetap sama: rakyat menolak beban fiskal yang dianggap tidak adil.
Pemberontakan Pragola
Sejarah mencatat perlawanan yang lebih nyata pada abad ke-17. Pada 1627, Adipati Pragola II memimpin pemberontakan melawan Sultan Agung dari Mataram.
Baca juga: Driver Ojol Tewas Dilindas Rantis Saat Demo, Ketua DPR RI Angkat Suara
Sejarawan M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200 menulis, Pati menjadi salah satu pusat perlawanan paling keras terhadap Mataram. Motif politik memang dominan, tetapi kewajiban upeti dan tekanan fiskal dari pusat turut memperburuk ketegangan. Hal serupa ditegaskan H.J. de Graaf dalam karyanya The Crown and the People of Java, yang melihat pemberontakan Pragola sebagai resistensi elite pesisir terhadap beban kekuasaan pusat.
Pajak Kolonial dan Ajaran Samin
Memasuki abad ke-19, rakyat Pati harus menghadapi pajak tanah (land rent) dan sistem Tanam Paksa yang diterapkan pemerintah kolonial. Penelitian Hendra Kurniawan dalam Sosio-Didaktika (2021) menyebut Tanam Paksa berfungsi sebagai bentuk pajak in natura yang sangat memberatkan petani Jawa.
Dari situ lahir gerakan Samin Surosentiko yang berkembang di Blora, Rembang, dan Pati. Komunitas Samin menolak membayar pajak, menolak kerja rodi, dan menegaskan hak atas tanah sebagai bentuk perlawanan damai. “Semboyan sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati menjadi simbol perlawanan pajak yang nir-kekerasan,” tulis Suharyo dalam Humanika Undip (2016).
Baca juga: Hati-hati Naikkan PBB-P2, DPRD Jatim Ingatkan Potensi Konflik Sosial di Tengah Ekonomi Sulit
Ricuh PBB-P2 2025
Pola resistensi pajak itu berulang di era modern. Pada 2025, Pemerintah Kabupaten Pati mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 17 Tahun 2025 yang menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB-P2. Kebijakan ini memicu protes besar karena dianggap tidak seimbang dengan kemampuan ekonomi masyarakat (Perbup Pati No. 17/2025, BPK RI).
Desakan warga akhirnya memaksa pemerintah daerah mencabut aturan tersebut melalui Perbup Nomor 40 Tahun 2025 pada 13 Agustus (JDIH Kabupaten Pati, 2025). Menurut laporan DDTC News (14 Agustus 2025), Pati menjadi salah satu dari dua daerah, bersama Jepara yang membatalkan kenaikan NJOP setelah mendapat sorotan dari Kementerian Dalam Negeri.
Dari masa ke masa, perlawanan masyarakat Pati menunjukkan pola yang konsisten. Ingatan Tombronegoro dalam babad, pemberontakan Pragola, ajaran Samin, hingga ricuh PBB-P2, semuanya lahir dari keresahan terhadap beban fiskal yang dianggap tidak adil.
Editor : Baehaqi