Lingkaran.net - Semangat kreator film animasi Merah Putih One for All patut diacungi jempol. Meski meraih catatan buruk karena sepi penonton, namun sutradara Endiarto tetap ngotot akan memproduksi film tersebut setiap tahun.
Data menunjukkan, film ini baru ditonton sekitar 1.500 orang saja di seluruh Indonesia. Kalau berdasar rating, di IMDb, film ini hanya mendapat skor 1,0 dari 10.
Baca juga: Kreator Film Merah Putih One for All Wajib Simak Kritik Pakar Ini
Para penonton ramai-ramai mengkritik kualitas animasi yang dinilai amatir, cerita yang terasa hambar, hingga dialog yang kaku.
Bahkan ada komentar pedas yang menyebut, “tugas mahasiswa animasi jauh lebih baik dari ini.” Kritik ini memang menyakitkan, tapi begitulah jujurnya suara publik.
Semua cemooh ini tidak membuat Endiarto goyah. Ia justru berencana menjadikan Merah Putih: One for All sebagai tradisi tahunan. Setiap tanggal 17 Agustus akan ada sekuel baru.
Optimisme ini mengundang reaksi beragam. Ada yang salut dengan keberaniannya. Tapi tak sedikit juga yang menilai sekuel tahunan tanpa evaluasi hanya akan memperbesar kekecewaan.
Baca juga: Di-mention Natizen Gegara Merah Putih One for All, Ini Respons Sutradara Jumbo
Konten kreator seperti Stanley Hao bahkan menyarankan agar film ini melakukan reboot total, layaknya DC yang sering mengulang universe ketika gagal.
“Publik belum siap untuk sekuel. Kalau mau lanjut, lebih baik rombak total, dari cerita sampai visualnya,” begitu kira-kira pesannya, dilansir kotakgame.com, Selasa (19/8/2025).
Hal lain yang jadi sorotan adalah soal dana. Film ini disebut menelan biaya Rp6,7 miliar. Tapi menurut sutradara Hanung Bramantyo, jumlah itu terlalu kecil untuk animasi layar lebar.
Baca juga: Film Animasi Merah Putih One for All, Jangan Bandingkan dengan Jumbo
“Anggaran ideal minimal Rp30 - 40 miliar dengan waktu produksi beberapa tahun. Kalau cuma Rp 6 miliar, levelnya masih storyboard berwarna, bukan film jadi,” jelasnya.
Komentar ini makin menegaskan bahwa masalah bukan hanya pada ide, tapi juga soal kesiapan produksi.
Endiarto sendiri membantah kalau filmnya dibiayai pemerintah. Ia menyebut angka Rp6,7 miliar itu berkembang di luar kendali tim kreator, sementara mereka hanya berniat sederhana: merayakan kemerdekaan lewat karya.
Editor : Zaki Zubaidi