Lingkaran.net - Rencana pemerintah untuk mewajibkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) campuran bioetanol 10 persen (E10) menuai perhatian dari berbagai kalangan.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Dr. Ir. Bambang Sudarmanta, ST., MT., IPM., AEng, menilai kebijakan tersebut merupakan langkah positif menuju energi bersih dan berkelanjutan, namun tetap memerlukan kesiapan teknis dan pemahaman masyarakat agar optimal.
Baca juga: BOBIBOS, Bahan Bakar Nabati Ciptaan Anak Bangsa
Menurut Prof. Bambang, bioetanol merupakan bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan dan memiliki sifat fisikokimia yang mirip dengan bensin.
“Bioetanol bisa digunakan sebagai campuran (blending fuel) maupun pengganti sebagian bensin (substitute fuel),” jelas dosen Departemen Teknik Mesin ITS itu, Jumat (7/11/2025).
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan bahwa bioetanol bersifat karbon netral, karena emisi karbondioksida (CO₂) hasil pembakaran dapat diserap kembali oleh tanaman penghasil bahan baku seperti tebu dan singkong.
“Dengan potensi bahan baku yang melimpah, bioetanol bisa memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menekan emisi karbon,” ujarnya.
Meski prospeknya cerah, Bambang tidak menutup mata terhadap tantangan teknis dan iklim yang dihadapi. Beberapa pihak khawatir campuran bioetanol dapat mempengaruhi performa kendaraan, terutama pada mesin lama atau konvensional yang banyak digunakan di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Bambang mengungkap hasil riset yang ia lakukan di Laboratorium Rekayasa Termal dan Sistem Energi ITS. Ia menjelaskan, pencampuran 5 hingga 10 persen bioetanol dalam bensin tidak menurunkan performa kendaraan secara signifikan.
“Baru pada kadar 15 hingga 20 persen, performa daya mulai menurun,” ujarnya yang juga menjabat Manajer Senior Science Techno Park (STP) Klaster Otomotif ITS.
Selain itu, bioetanol memiliki angka oktan tinggi, sekitar 108 hingga 120, yang membuat pembakaran lebih efisien dan mengurangi risiko knocking pada mesin.
“Dengan angka oktan tinggi, mesin bekerja lebih stabil saat menghadapi tekanan dan suhu tinggi,” paparnya.
Namun demikian, Bambang mengingatkan bahwa bioetanol bersifat higroskopis, mudah menyerap air di iklim lembap seperti Indonesia.
“Sifat pelarut dan kecenderungan teroksidasi membuat bioetanol berpotensi korosif pada logam atau bahan karet. Karena itu perlu penyesuaian material dan sistem bahan bakar yang tepat,” tegasnya.
Menurutnya, risiko tersebut bisa diminimalkan dengan penanganan, penyimpanan, dan perawatan yang benar. “Selama sistem bahan bakar dijaga dengan baik, kualitas bioetanol bisa tetap stabil,” imbuhnya.
Bambang juga menyoroti bahwa bioetanol memiliki nilai kalor sekitar 35 persen lebih rendah dari bensin, sehingga energi hasil pembakaran sedikit berkurang. “Namun efeknya tidak signifikan untuk campuran rendah hingga 10 persen seperti E10,” tuturnya.
Perlu Persiapan Menyeluruh
Agar kebijakan penggunaan bioetanol berjalan efektif, Bambang menilai perlunya persiapan menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari pasokan bahan baku, teknologi pencampuran dan penyimpanan, hingga sistem distribusi nasional.
“Setiap tahap harus diawasi ketat agar mutu bahan bakar tetap terjaga. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal konsistensi kebijakan dan edukasi publik,” terang Kepala Pusat Unggulan Iptek Sistem dan Kontrol Otomotif (PUI-SKO) ITS periode 2020–2022 itu.
Bambang menegaskan, penggunaan bioetanol sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin ke-7 tentang Energi Bersih dan Terjangkau serta poin ke-13 tentang Penanganan Perubahan Iklim.
“Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan kesadaran publik yang tinggi, Indonesia bisa melangkah menuju sistem energi yang lebih hijau dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Editor : Setiadi