Surabaya, Lingkaran.net Sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Surabaya mendapat tanda silang besar disertai tulisan tidak membayar pajak dan retribusi daerah.
Fenomena ini memicu pertanyaan publik, bagaimana mungkin SPBU milik BUMN sekelas Pertamina tidak taat terhadap kewajiban fiskal?
Berbeda dengan SPBU swasta seperti Shell, Vivo Energy, dan BP-AKR yang tidak mendapat penandaan serupa, Pemkot Surabaya menilai SPBU swasta justru lebih tertib dalam membayar pajak dan retribusi daerah.
Sanksi terhadap SPBU yang melanggar bisa sangat tegas, mulai dari denda, bunga, pencabutan izin, hingga pidana jika ada unsur pelanggaran hukum.
Hal ini diatur dalam Perda Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Perwali Nomor 33 Tahun 2024 sebagai aturan pelaksanaannya.
Menanggapi pernyataan dari Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus yang disampaikan melalui media bahwa mereka bersama Hiswana Migas DPC Surabaya mendorong terjalinnya komunikasi antara SPBU dan Pemkot Surabaya, Ketua Umum Ranggah Rajasa Indonesia (RRI), Eko Muhammad Ridwan, menilai pernyataan tersebut hanya bersifat normatif dan tidak menghadirkan solusi konkret.
Pernyataan semacam itu terkesan hanya mencari aman dan justru membuka ruang negosiasi yang dapat mengabaikan kewajiban pajak yang sudah lama tidak dibayarkan, kata Eko.
Eko juga mengungkapkan bahwa informasi yang beredar menyebut banyak SPBU Pertamina yang belum membayar pajak selama bertahun-tahun.
Jika Pertamina tidak segera bersikap tegas dan Pemkot Surabaya tidak segera mencabut izin operasional serta menyegel SPBU bermasalah, hal ini bisa memunculkan polemik di tengah masyarakat.
Jangan sampai publik menduga ada permainan kotor, kongkalikong antar oknum, gratifikasi, atau bahkan penyelesaian perkara di bawah meja, tegasnya. Alkalifi Abiyu
Editor : Redaksi