Lingkaran.net - Kasus penipuan dengan teknik voice spoofing atau pemalsuan suara berbasis kecerdasan buatan (AI) semakin meningkat di Indonesia. Dosen Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Lukman Hakim, mengingatkan bahwa maraknya modus tersebut harus menjadi alarm serius bagi masyarakat.
Lukman menjelaskan, perkembangan teknologi memungkinkan suara manusia dipalsukan hanya dengan sampel rekaman 3–10 detik.
Baca juga: Elon Musk Buka Lowongan Kerja Gaji Rp1,6 Juta Per Jam, Ini Syaratnya
“Saat ini suara manusia bisa dipalsukan hanya dengan 3–10 detik sampel. Itu sangat berbahaya,” ujarnya dalam siaran pers, Senin (1/12/2025).
Menurutnya, pelaku bisa mendapatkan rekaman pendek dari berbagai platform, mulai dari pesan suara WhatsApp, video TikTok, hingga potongan audio di media sosial. Dengan aplikasi AI voice generator atau deepfake voice, suara korban dapat direkayasa menjadi kalimat apa pun hanya dalam waktu kurang dari dua menit.
“Dulu manipulasi suara butuh perangkat canggih. Sekarang aplikasi gratis pun bisa membuat tiruan suara yang sangat meyakinkan,” tegasnya.
Modus Mengincar Emosi dan Kepanikan Korban
Lukman memaparkan, pola serangan voice spoofing umumnya memanfaatkan dua kelemahan: emosi korban dan rendahnya literasi digital. Pelaku sering menciptakan skenario darurat, misalnya mengaku sebagai anak yang kecelakaan, petugas bank, hingga aparat yang meminta verifikasi data penting.
Dalam kondisi panik, korban cenderung langsung mengikuti instruksi pelaku, mulai dari transfer uang, memberikan kode OTP, hingga membagikan data pribadi. Kerugian dari kasus-kasus seperti ini bahkan tercatat mencapai ratusan juta rupiah.
Lebih jauh, ia menyinggung hasil penelitian internasional seperti Hernández-Nava (2023) dan Zhou (2022) yang menunjukkan bahwa voice spoofing juga dapat menembus sistem keamanan biometrik suara. Celah pada teknologi voice authentication ini masih menjadi tantangan global.
Masyarakat Diminta Tingkatkan Kewaspadaan
Baca juga: Negara Ini Jadikan AI sebagai Menteri Pengadaan Publik, Wow!
Lukman menegaskan bahwa masyarakat harus memahami cara kerja modus ini agar tidak menjadi korban. Ia memberikan beberapa langkah penting untuk meningkatkan kewaspadaan:
- Jangan percaya hanya karena suara mirip. Jika menerima telepon dari pihak yang mengaku bank atau institusi resmi, putuskan sambungan dan hubungi nomor resmi secara mandiri.
- Kendalikan emosi. Pelaku sengaja memicu kepanikan agar korban tidak berpikir rasional.
- Jangan pernah memberikan OTP, PIN, atau data pribadi. Periksa aktivitas finansial secara rutin dan laporkan jika ada transaksi mencurigakan.
- Lakukan verifikasi silang. Bila ada penelepon yang mengaku anak atau kerabat, segera hubungi nomor asli orang tersebut.
Baca juga: Payment ID Diluncurkan 17 Agustus, Pakar Ekonomi Cermati 2 Sisi Ini
- Pastikan layanan digital memakai sistem anti-spoofing, terutama aplikasi yang menggunakan verifikasi suara.
Menurutnya, pemerintah, lembaga keuangan, dan perusahaan digital memang memiliki peran besar dalam edukasi publik. Namun benteng pertama tetap berada di tangan masyarakat.
“Ancaman digital tidak lagi datang dalam bentuk pesan teks atau tautan mencurigakan. Kini suaralah yang disalahgunakan untuk menipu,” tegas Lukman.
Dengan peningkatan kewaspadaan dan pemahaman terhadap modus voice spoofing berbasis AI, masyarakat diharapkan lebih siap menghadapi kejahatan siber yang semakin canggih dan sulit dibedakan dari komunikasi nyata.
Editor : Zaki Zubaidi