Surabaya, Lingkaran.net Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Jairi Irawan, mengungkapkan pandangannya mengenai penerapan Kurikulum 2013 (K13) dan Kurikulum Merdeka dalam sistem pendidikan di Jawa Timur.
Menurutnya, kedua kurikulum tersebut memiliki semangat yang sama dalam mendorong peran aktif siswa selama proses pembelajaran.
Keduanya, kata Politikus Golkar ini, menekankan pendekatan yang berpusat pada siswa, di mana peran guru adalah sebagai fasilitator dan pembimbing.
Jairi menjelaskan, Kurikulum 2013 lebih berfokus pada pendekatan berbasis kompetensi, di mana siswa diharapkan dapat menguasai keterampilan dan pengetahuan tertentu. Sementara itu, Kurikulum Merdeka memberikan ruang kebebasan dan fleksibilitas bagi siswa dalam belajar.
“Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan lebih luas bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka secara mandiri,” ujarnya saat ditemui Bhirawa, Kamis (24/10).
Namun, Jairi menegaskan bahwa keluhan yang sering disampaikan oleh para orang tua sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan kurikulum, melainkan oleh sistem zonasi yang telah diterapkan sejak 2017.
“Sistem zonasi ini menimbulkan ketidakmerataan kualitas pendidikan di berbagai wilayah. Masalahnya bukan pada kurikulumnya, tetapi pada pemerataan kualitas guru dan fasilitas pendidikan di tiap daerah,” jelasnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Jairi mengusulkan dua langkah utama. Pertama, perlu ada pemerataan kualitas tenaga pendidik di seluruh satuan pendidikan di Jawa Timur. Guru yang berkualitas harus tersebar merata, tidak hanya di sekolah-sekolah favorit di pusat kota.
“Guru berkualitas harus hadir di semua sekolah, termasuk di daerah pinggiran, agar setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan terbaik,” katanya.
Kedua, Jairi menyoroti pentingnya pemerataan fasilitas pendidikan. Ia menekankan bahwa fasilitas seperti laboratorium, perpustakaan, dan infrastruktur sekolah lainnya harus memadai dan merata di seluruh wilayah.
“Kita tidak bisa berharap siswa mendapatkan hasil yang optimal jika sarana dan prasarana di sekolah mereka masih jauh dari kata layak,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Jairi juga mengusulkan untuk meninjau kembali Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 25 Tahun 2020 yang merupakan perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2017 tentang percepatan revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Provinsi Jawa Timur.
Menurut dia, aturan ini membatasi pendirian Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Timur, yang menurut Jairi perlu dievaluasi.
“Pembatasan pendirian SMA perlu dikaji ulang agar kita bisa memastikan semua anak memiliki akses ke pendidikan yang layak, khususnya di daerah-daerah yang masih kekurangan sekolah menengah atas,” ujarnya.
Jairi berharap pemerintah provinsi dapat segera melakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap aturan tersebut guna menciptakan akses pendidikan yang lebih merata.
Jairi menegaskan komitmen DPRD Jatim, khususnya Komisi E yang membidangi pendidikan, untuk terus mendorong pemerataan kualitas pendidikan di Jawa Timur. Ia berharap, ke depan, pendidikan di provinsi ini bisa semakin maju dan berkualitas, serta mampu mencetak generasi yang kompeten dan siap bersaing.
“Kita semua punya tanggung jawab untuk memastikan setiap anak di Jawa Timur mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, tanpa memandang di mana mereka tinggal. Pemerintah harus hadir untuk mengatasi kesenjangan yang ada,” tutup Jairi dengan penuh harapan.
Dengan adanya upaya ini, diharapkan pemerataan kualitas pendidikan di Jawa Timur dapat segera terwujud, demi masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang. Alkalifi Abiyu