Lingkaran.net - Perempuan dengan kepala transparan buram duduk di pojok kafe. Tatapan matanya nanar. Sebatang rokok diapit dua jemari lentiknya. Pelan, ia isap rokok itu. Bibir cantiknya mengatup dengan tenang.
Selepas rokok diisap, kepulan asap serupa keluar dari cerobong mini, dihantam asap yang keluar dari hidung. Bersamaan dengan itu, batok kepalanya semakin transparan.
Setiap embusan asap rokok, membuat isi batok kepalanya kian jelas terlihat. Batok kepalanya sebening toples kaca. Terlihat kerumunan buruh pabrik korban PHK panik saling bertubrukan. Mereka menangis. Limbung menabrak dinding kepala sebening toples.
Perempuan itu meneguk segelas air putih. Kepala toples itu memburam kembali. Ia menarik nafas panjang. Lalu mengisap lagi rokoknya. Kepala toples bening Kembali. Terlihat kanak-kanak berlarian, dengan perut mengkerut. Kanak-kanak itu terbentur-bentur dinding toples hingga jatuh terkulai.
Lama perempuan itu termenung. Rokok membakar dirinya sendiri serupa dupa di altar persembahan. Batok kepala perempuan buram menghitam. Perempuan itu meneteskan air mata.
Ia isap lagi rokok yang nyaris habis. Kepalanya sebening toples lagi. Terlihat seorang pria dikepung para penagih utang. Pria itu menerobos kepungan. Berhasil. Terus berlari menabrak dingin toples. Terjatuh. Lemah tak berdaya. Kakinya pun diseret para penagih utang.
Perempuan itu membuang rokoknya di asbak. Air matanya sudah mengering. Batok kepalanya buram serupa lebam. Ia beranjak dari kursi melangkah keluar kafe. Ia menerjang gerimis malam itu. Dengan pakaian kantoran yang basah kuyup, ia masuk mobil. Lalu, mobil itu melaju hingga lenyap ditelan lampu-lampu kota.
Andai Pierre Bourdieu Ngopi Bareng Slamet
Ilustrasi di atas setidaknya bisa menggambarkan betapa rumitnya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akhir-akhir ini terjadi. Sesungguhnya telah terjadi suatu tindak kekerasan meski tidak terasa sakit secara fisik.
Meminjam kacamata filsuf Prancis, Pierre Bourdieu, dalam Teori Kekuasaan, PHK bisa merupakan sebuah bentuk kekerasan simbolik. Ini adalah bentuk kekerasan yang tidak terlihat secara fisik, namun memiliki dampak yang kuat dalam kehidupan sosial.
Kekerasan ini terjadi melalui pemaksaan ideologi, kebiasaan, dan nilai-nilai yang mendominasi kelompok tertentu kepada kelompok lain, sehingga kelompok yang didominasi menganggapnya sebagai sesuatu yang alami dan sah.
Seperti halnya PHK, yang sering kali harus mendapat permakluman dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan alami dalam dunia kerja.
Bourdieu juga menggunakan konsep habitus untuk menjelaskan bagaimana kekerasan simbolik menciptakan kebiasaan dan perilaku yang terinternalisasi dalam diri individu.
Habitus adalah kumpulan pengetahuan, nilai, dan kebiasaan yang dipelajari seseorang melalui interaksi sosial dan pengalaman hidup.
Dalam konteks PHK, habitus karyawan yang terkena dampak dapat dianalisis berdasarkan posisi sosial mereka dalam perusahaan.
Contohnya, karyawan dengan habitus yang lebih menekankan stabilitas dan kekuasaan (misalnya, karyawan senior) mungkin memiliki sikap yang berbeda dibandingkan karyawan yang lebih menekankan inovasi dan perubahan (misalnya, karyawan baru).
Penyikapan terhadap situasi ini tentu saja berbeda sesuai dengan habitus masing-masing. Karyawan kelas atas pasti akan lebih tenang lantaran ditopang kemampuan finansial. Sedangkan buruh rendahan, pasti sudah bingung cara bayar cicilan.
Namun analisis ini jelas terlalu muluk-muluk bagi masyarakat bawah. Slamet, si tukang becak tidak mau tahu dengan teori Pierre Bourdieu.
"PHK kok koyo aji mumpung. Satu PHK lainnya ikut PHK," celetuknya sambil sibuk mengambil rokok tanpa cukai dari bungkus. Lalu dengan cekatan menyulut rokoknya. Tak lupa menyeruput kopi hingga tandas.
"Semua kena PHK. Rokok semakin mahal. Rokok tanpa cukai dilarang. Sudah banyak korban, tapi pinjol ya masih diizinkan. Judi online opomaneh. Wis embuh ruwet...ruwet..." ceracaunya sambil keluar dari warung kopi dan kembali mengayuh becaknya.
Editor : Zaki Zubaidi