Surabaya, Lingkaran.net Praktik pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai kecaman keras dari BEM Nusantara.
Organisasi mahasiswa ini menilai aktivitas PT Gag Nikel anak perusahaan PT Antam Tbk. yang tergabung dalam holding BUMN MIND ID sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan hukum lingkungan hidup Indonesia.
Papua bukan tanah kosong! Ia adalah pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Ketika tanah ini dikorbankan atas nama transisi energi dan tambang, maka itu bukan pembangunan, tapi kolonialisme gaya baru, tegas Moh Mahshun Al Fuadi, Koordinator Sosial Politik BEM Nusantara, dalam pernyataan resminya yang diterima Lingkaran.net, Jumat (13/6/2025).
Menurut Mahshun, kegiatan tambang di Pulau Gag telah menabrak berbagai regulasi. Salah satunya adalah UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang eksploitasi di pulau kecil berpenduduk dengan luas di bawah 2.000 km².
Ia juga menyebutkan pelanggaran terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Kehutanan dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Faktanya, masyarakat adat kehilangan ruang hidup, laut rusak, hutan digunduli, dan hanya segelintir elit pemilik modal yang menikmati hasilnya. Di mana letak keadilan ekologis itu? kritik Mahshun.
BEM Nusantara turut menyayangkan sikap Menteri ESDM RI dan Komisi VII DPR RI yang dinilai lalai dalam pengawasan, serta membiarkan BUMN seperti PT Antam dan MIND ID justru menjadi pelaku utama perusakan lingkungan. Padahal, BUMN semestinya menjadi pelopor pembangunan berkelanjutan.
Sebagai bentuk perlawanan, BEM Nusantara menyampaikan empat tuntutan tegas:
Cabut izin operasi PT Gag Nikel di Raja Ampat. Tinjau ulang seluruh izin tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil. Hentikan narasi transisi energi yang digunakan sebagai dalih merusak lingkungan. Kembalikan kedaulatan ruang hidup kepada masyarakat adat.
Mahshun juga menyoroti sikap pemerintah yang dinilai inkonsisten. Meskipun telah mencabut empat IUP di sekitar Raja Ampat, langkah itu dianggap belum cukup.
Ini hanya reaksi atas tekanan publik. Kami menyebutnya sebagai praktik No Viral, No Justice, patologi pemerintahan yang harus segera diakhiri.
Ia menegaskan, persoalan tambang bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut masa depan bangsa dan warisan untuk generasi mendatang.
Kami, generasi muda, tidak akan diam melihat tanah air kami dijual kepada investor. Kami menyerukan perlawanan ekologis demi alam, adat, dan anak cucu kita, pungkasnya. Alkalifi Abiyu
Editor : Redaksi