x lingkaran.net skyscraper
x lingkaran.net skyscraper

Kesehatan Mental Anak dan Zaman yang Terlalu Bising

Avatar lingkaran.net

Jeda Ngopi

Lingkaran.net - Tak ada yang lebih sunyi dari kesepian seorang anak di tengah keramaian dunia digital.

Mereka generasi yang lahir di abad ini hidup di sebuah zaman yang begitu cepat, begitu bising, dan begitu sibuk menuntut mereka untuk menjadi sesuatu. Menjadi yang tampil menarik, menjadi yang viral, menjadi yang diperhatikan.

Namun di balik layar, di balik senyum di foto profil, di balik unggahan-unggahan yang disusun rapi dengan filter dan kata-kata manis, ada sesuatu yang sering terlewat kita lihat: kegelisahan.

Media sosial, yang mula-mula dirayakan sebagai ruang berbagi dan jembatan relasi, kini sering kali menjadi arena perbandingan, bahkan pertarungan diam-diam. Anak-anak kita, bahkan sebelum cukup usia untuk memahami dirinya, telah diperkenalkan pada dunia yang mengukur nilai seseorang dari likes, jumlah pengikut, dan komentar yang datang atau tidak datang.

Tentu, orang dewasa pun mengalaminya. Tapi yang dewasa, setidaknya, punya jarak. Anak-anak tidak. Mereka mengalaminya mentah-mentah, seringkali tanpa pembatas, apalagi pendamping.

Saya teringat seorang siswa SMP di forum diskusi di Sidoarjo. Ia berkata lirih, “Aku merasa gagal kalau tidak punya yang bisa aku pamerkan.” Bagi kita, kalimat itu mungkin terdengar ringan, tapi di sanalah tersimpan beban zaman: perasaan bahwa hidup harus selalu dipertontonkan.

Di era ini, anak-anak terperangkap dalam sebuah ironi. Di satu sisi, mereka tumbuh dengan teknologi yang menjanjikan koneksi tanpa batas. Di sisi lain, mereka justru makin mudah merasa terasing dari dirinya sendiri, dari keluarga, bahkan dari lingkungannya.

Pertemanan bukan lagi sekadar soal tatap muka. Ia menjadi soal siapa yang diundang di grup, siapa yang disukai di postingan, siapa yang dibicarakan di kolom komentar.

Apa yang dulu dibangun lewat percakapan panjang dan pengalaman nyata, kini diwakili oleh emoji, reaction, dan tanda centang biru.

Dan kita, para orang tua, para guru, kadang lebih sering menatap layar kita sendiri daripada menatap wajah anak-anak yang ada di depan kita.

Kesehatan mental anak, hari ini, bukan semata soal klinis. Ia adalah cermin dari bagaimana dunia memperlakukan anak sebagai manusia bukan sebagai angka, bukan sebagai konsumen, bukan sebagai objek pasar.

Anak-anak adalah manusia yang butuh diterima sebelum mereka dinilai, yang butuh dipahami sebelum mereka disuruh memahami.

Tapi lihatlah sekitar. Betapa sering kita lebih cepat menegur daripada mendengar. Lebih sering kita berkata, “Jangan main HP terus!” daripada bertanya, “Apa yang kamu rasakan?”

Orang tua, sekolah, bahkan komunitas sosial, seolah kehabisan cara. Di hadapan laju zaman, pengasuhan menjadi sesuatu yang kehilangan pijakan. Kita melarang tanpa menemani, mengawasi tanpa memahami.

Dan pada saat yang sama, kita sibuk menuntut anak-anak menjadi kuat, menjadi tangguh, menjadi cerdas, seolah-olah semua itu bisa tumbuh dengan sendirinya.

Padahal, anak-anak adalah cermin dari relasi yang kita bangun dengan mereka.

Di satu sisi, kita cemas mereka kecanduan gawai. Di sisi lain, kita jarang hadir dalam hidup mereka dengan cara yang sungguh-sungguh. Kita marah ketika mereka menarik diri, tapi tak pernah benar-benar hadir ketika mereka butuh bicara.

Kita mencemaskan kesehatan mental mereka, tapi lupa bahwa kesehatan mental tak dibangun dari nasihat atau larangan melainkan dari kehadiran, dari ruang aman, dari percakapan yang tulus.

Media sosial, tentu saja, bukan sesuatu yang bisa kita musuhi begitu saja. Ia adalah bagian dari zaman ini. Tapi ia juga bukan sesuatu yang harus kita biarkan merampas kemanusiaan anak-anak.

Maka, tugas kita lebih dari sekadar pengawasan adalah membangun ruang-ruang kecil tempat anak-anak merasa diterima. Di rumah, di sekolah, di ruang-ruang sosial. Tempat di mana mereka tahu, ada orang yang mendengar tanpa menghakimi.

Tempat di mana mereka tak harus menjadi sempurna untuk diterima. Pendidikan hari ini bukan lagi soal memasukkan anak ke sekolah terbaik atau memberi mereka fasilitas terbaik. Ini soal menjadi manusia yang hadir. Menjadi orang tua yang bukan sekadar memberi aturan, tapi juga memberi pelukan. Menjadi guru yang bukan sekadar memberi nilai, tapi juga memberi teladan.

Mungkin itu terdengar sederhana. Tapi justru di situlah letak persoalan kita. Kita lebih mudah membangun sistem, daripada membangun hubungan.

Dan pada akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita sedang membesarkan anak-anak di tengah dunia yang berisik, atau sedang membesarkan dunia yang terlalu bising untuk didengar oleh anak-anak kita?

Zaman ini akan terus berlari. Media sosial akan terus berkembang. Algoritma akan terus berubah. Tapi ada satu hal yang tidak pernah berubah: anak-anak akan selalu butuh seseorang yang hadir, yang melihat mereka sebagai manusia, bukan sebagai bagian dari statistik digital.

Dan di sana, di keheningan yang tak bising, di percakapan yang sungguh, anak-anak bisa menemukan kembali dirinya dan kita, sebagai orang dewasa, bisa menemukan kembali makna pengasuhan.

Karena pada akhirnya, apa yang akan kita tinggalkan bagi masa depan, bukanlah teknologi, bukanlah aplikasi, tetapi manusia yang saling menjaga manusia.

Oleh: Aan Haryono SE, M.Med.Kom
Komisioner KPID Jawa Timur

 

Artikel Terbaru
Selasa, 22 Jul 2025 09:17 WIB | Politik & Pemerintahan

Hikmah Bafaqih: DPRD Kabupaten/Kota Harus Anggarkan Dana Perawatan Alat Kebencanaan

Lingkaran.net - Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih, mengingatkan seluruh DPRD kabupaten/kota di Jawa Timur untuk mengalokasikan anggaran ...
Selasa, 22 Jul 2025 08:51 WIB | Olahraga

Pulangkan Malaysia, Timnas Indonesia U23 Tunggu Lawan di Semifinal Piala AFF U23 2025

Timnas Indonesia U23 berhasil lolos ke semifinal Piala AFF U23 2025 setelah bermain 0-0 melawan Malaysia ...
Selasa, 22 Jul 2025 08:12 WIB | Umum

Fraksi PDIP DPRD Jatim: Koperasi adalah Jalan Ekonomi Berdikari ala Bung Karno 

Lingkaran.net - Di tengah momentum Hari Koperasi Nasional ke-78, semangat baru untuk menggerakkan perekonomian berbasis kerakyatan kian menguat. Pemerintah RI ...