Kemeriahan Agustusan Dibayangi Polemik Sound Horeg

Reporter : Setiadi
Ilustrasi kemeriahan Agustusan dengan Sound Horeg

Lingkaran.net - Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-80, suasana semarak sudah mulai terasa di berbagai daerah.  

Di sepanjang jalan, pedagang bendera merah putih dan umbul-umbul ramai menjajakan dagangan, berharap masyarakat menyambut kemerdekaan dengan antusias. 

Baca juga: Pemprov Jatim Diminta Tak Larut Isu Sound Horeg, Gus Hans: Bantu KPK Saja!

Kegiatan tradisional seperti kerja bakti, lomba-lomba 17-an, tasyakuran, hingga karnaval desa juga mulai menggeliat. 

Namun, tahun ini ada satu fenomena yang kembali mencuat dan menjadi sorotan masyarakat. Penggunaan sound horeg dalam berbagai kegiatan perayaan, terutama karnaval dan hajatan di desa-desa.  

Di beberapa wilayah seperti Malang, Jember, Pasuruan, Tulungagung, hingga Banyuwangi, kehadiran sound horeg mengundang pro dan kontra tajam. 

Apa Itu Sound Horeg dan Mengapa Jadi Polemik? 

Sound horeg merupakan istilah lokal yang merujuk pada penggunaan sound system berukuran besar dengan volume tinggi, biasanya dirangkai di atas truk dan dihiasi lampu warna-warni.  

Suaranya bisa mencapai lebih dari 100 desibel, menggetarkan tanah, dinding rumah, bahkan merusak genteng dan plafon. Istilah “horeg” sendiri berasal dari bahasa Jawa, berarti “bergetar” atau “berdentum”. 

Meski dianggap sebagai bentuk ekspresi budaya, hiburan rakyat, dan media kreativitas anak muda, suara kerasnya telah menimbulkan keresahan.  

Di beberapa desa, karnaval yang menggunakan sound horeg telah menyebabkan gangguan kesehatan, kerusakan fasilitas umum, bahkan memicu konflik antarwarga. 

Kritik Meningkat, MUI Jatim Keluarkan Fatwa Haram 

Keresahan masyarakat mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pada Juli 2025 mengeluarkan Fatwa Haram terhadap kegiatan sound horeg karena dinilai lebih banyak mudarat dibanding manfaat.  

Fatwa tersebut tertuang dalam Fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025, yang menyebutkan bahwa kegiatan ini kerap disertai dengan kemaksiatan, gangguan ketertiban umum, dan membahayakan kesehatan. 

“Gangguan terhadap bayi, orang sakit, hingga lansia harus jadi pertimbangan utama. Ditambah lagi, dalam praktiknya sering terjadi campur baur laki-laki dan perempuan dengan joget yang tak senonoh,” tegas Hasan Ubaidillah, Sekretaris MUI Jatim. 

Baca juga: Pemprov Jatim Siapkan Regulasi Khusus Atur Sound Horeg, 5 Daerah Ini Jadi Perhatian

Desa Larang Warga Sakit dan Lansia Dekat Lokasi Sound Horeg 

Salah satu peristiwa yang menuai kecaman terjadi di Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang.  

Dalam pelaksanaan karnaval bersih dusun pada 23 Juli 2025, pemerintah desa mengeluarkan imbauan agar warga yang sakit, anak-anak, dan lansia menjauh dari lokasi sound horeg.  

Kebijakan ini dinilai absurd dan menuai protes karena dinilai mengorbankan masyarakat demi hiburan sesaat. 

Pemprov Jatim dan Polda Siapkan Regulasi Pembatasan Sound Horeg 

Menanggapi lonjakan penggunaan sound horeg, terutama menjelang puncak peringatan 17 Agustus 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Polda Jatim dan berbagai elemen masyarakat tengah menyusun regulasi pembatasan. 

Menurut Sekda Jatim Adhy Karyono, regulasi akan mencakup batas volume, waktu pelaksanaan, jumlah speaker subwoofer, hingga pengaturan jalur dan izin pemanfaatan jalan umum.  

Baca juga: Bupati Lumajang dan Jember Tunggu Instruksi Pemprov Soal Fatwa Haram Sound Horeg

Beberapa daerah bahkan telah melarang secara tegas kegiatan ini, seperti Pemkot Malang yang melarang sound horeg setelah insiden keributan antarwarga saat karnaval di Kelurahan Mulyorejo. 

Koordinasi Keamanan Diperketat, tapi Masih Banyak Pelanggaran 

Upaya pengendalian juga dilakukan melalui rapat koordinasi pengamanan karnaval antara kepolisian, TNI, Dishub, dan linmas. Seperti di Polres Batu, yang menetapkan batas suara maksimal 60 desibel, jam operasional hingga pukul 23.00, serta pembatasan kendaraan pengangkut.  

Namun, masih banyak kegiatan yang melanggar aturan ini dan harus dibubarkan secara paksa oleh aparat karena melewati batas waktu. 

Masyarakat Terbelah, Perlu Regulasi yang Tegas dan Adil 

Di tengah polemik ini, masyarakat terbagi dua. Sebagian menyambut hangat sound horeg sebagai hiburan rakyat yang murah meriah, bahkan menjadi ladang ekonomi bagi vendor lokal. Namun sebagian lainnya mengeluhkan dampak sosial, lingkungan, dan kesehatan yang ditimbulkan. 

Akankah sound horeg tetap menjadi bagian dari semarak 17-an di masa mendatang? Semua bergantung pada bagaimana regulasi dari pemerintah daerah dan penegakan hukum dilakukan secara konsisten dan adil bagi semua pihak.

Editor : Setiadi

Politik & Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru