Lingkaran.net – Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Azhar Kahfi, menanggapi serius kebijakan jam malam bagi remaja serta masih maraknya aksi balap liar di sejumlah titik di kota Pahlawan.
Meski menjadi langkah preventif pencegahan kenakalan remaja, namun harus dievaluasi secara berkala agar tidak menimbulkan dampak negatif. Khususnya bagi remaja yang masih menempuh pendidikan maupun yang putus sekolah.
Baca juga: Ada Anak SD Terjaring Sweeping Jam Malam Anak, Pemkot Surabaya Beri Pendampingan Intensif
“Soal pembatasan jam malam ini kan bentuk preventif. Termasuk kenakalan remaja yg ikut balap liar. Namun mohon dicek remaja yg sekolah atau putus sekolah. Pembatasan jam malam menurut saya sebaiknya terus dimonitor mengingat sekarang sudah jadwal masuk sekolah,” ujar Kahfi saat dihubungi Lingkaran.net, Kamis (17/7/2025).
Politikus dari Partai Gerindra itu menilai, fenomena balap liar di Surabaya sudah berkembang jauh dari sekadar aksi insidental.
Ia menyebut aksi tersebut kini menunjukkan pola terstruktur, dengan lokasi dan waktu yang konsisten, serta adanya aturan tak tertulis yang dipatuhi oleh para pelaku.
“Balap liar tidak terjadi secara acak. Ada lokasi-lokasi favorit, waktu-waktu tertentu (biasanya malam hingga dini hari), dan bahkan mereka mempunyai ‘aturan main’ tidak tertulis di antara para pelakunya. Ini menunjukkan adanya pola yang berulang dan terstruktur,” tutur Kahfi.
Subkultur Anak Muda
Lebih dalam, Kahfi menilai aksi balap liar sudah menjadi bagian dari subkultur anak muda yang tumbuh dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menyebut aktivitas tersebut telah membentuk identitas kolektif dan rasa bangga di kalangan pelakunya.
“Turunan dari itu semua melahirkan sebuah tradisi, warisan, kaderisasi dan regenerasi. Yang akhirnya mereka mendokumentasikan menjadikan sebuah identitas, sebuah kebanggaan. Pertanyaannya, pemerintah menganggap ini sebuah kenakalan remaja karena melanggar aturan? Mereka sampah masyarakat yang meresahkan warga sekitarnya?” katanya.
Baca juga: Jam Malam Anak di Surabaya Mulai Berlaku 3 Juli 2025, Orang Tua Diminta Terlibat Aktif
Karena itu, Kahfi mendorong aparat kepolisian dan pemerintah kota untuk menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam menyikapi kelompok ini. Ia menilai, para pelaku balap liar tidak sekadar pengendara sembarangan, tapi bagian dari komunitas yang memiliki ikatan sosial yang kuat.
“Saya mengharap Pak Lutfi Kapolrestabes dan Pak Eri mempunyai format khusus untuk mereka yang sudah menjadikan ini kelompok komunitas bahkan terkadang mereka sudah menganggap lebih dari saudara ketika sudah di atas aspal. Ini sudah jadi sub budaya yang memang belum menemukan konotasi positif. Tapi perlu tempat dan perlu perhatian khusus,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak terburu-buru memberikan cap negatif pada aktivitas balap liar. Sebaliknya, ia mengajak publik untuk melihat akar sejarah dan dinamika sosial yang menyertainya.
“Jangan buru-buru melabeli kegiatan balap liar itu kenakalan remaja. Pahami sejarahnya, mungkin 10–20 tahun yang lalu. Ada anak kecil bantu ayahnya di bengkel kemudian mencoba setingan motor dan dia bisa menyatu dengan motor merasakan torsi,” ungkapnya.
Baca juga: Pemkot Surabaya Sosialisasi Masif Jam Malam Anak, Sweeping Dimulai Pekan Depan
Menurutnya, proses pembelajaran itu bisa berkembang menjadi warisan keterampilan dan keberanian, meski pada akhirnya bisa salah arah jika tidak mendapat pendampingan yang tepat.
“Dan ternyata si anak kecil itu tidak jago soal mesin namun juga punya keberanian menunggangi motor dengan batas maksimalnya. Itulah kelebihannya! Yang mana ilmu itu sudah turun temurun ke teman-temannya, ada yang temannya di Surabaya turun temurun lagi. Yanf mungkin sekarang ini salah memahami, jadinya jadi sok-sokan di jalanan,” kata Kahfi.
Mengakhiri pernyataannya, Kahfi menyampaikan analogi menarik dengan menyebut kemungkinan potensi luar biasa dari anak-anak yang awalnya hanya belajar dari bengkel dan jalanan.
“Siapakah anak kecil itu? Mungkin namanya Max Biaggi,” pungkasnya.
Editor : Zaki Zubaidi